Senin, 13 Oktober 2014

Politik Pendidikan


PEMBAHASAN
Politik Pendidikan Masa Khulafaur Rasyidin
A.    Kekhalifahan Khulafaur Rasyidin[1]
Berkenaan dengan kekhalifahan fase pertama atau kekhalifahan Khulafaur Rasyidin, kelompok Ahlus Sunnah secara keseluruhan-yang notebene- adalah kelompok mayoritas umat Islam-berpendapat bahwa kekhlifahan Khulafaur Rasyidin sah dan legitimate menurut prinsip-prinsip syariat. Tidak mengherankan, karena fase ini merupakan periode para sahabat, yang notabebe hidup pada semasa dengan Rasulullah SAW. yang menemani beliau dan turut serta di dalam membangun negara bersama Rasulullah beserta kaum mukmin.
Sahabat-sahabat Rasulullah adalah orang-orang yang memahami hakikat inti ajaran Islam dan mereka adalah panutan utama dalam agama setelah Rasulullah. Oleh karena itu, para mujtahid (pengkaji hukum yang memiliki kualifikasi ijtihad) Islam ulama Ahlus Sunnah menjadi ijma (konsensus) sahabat sebagai bukti pertama-sebagaimana yang telah diketahui-adanya keharusan menegakkan keimamahan atau kekhalifahan serta keharusan untuk menunjuk seseorang yang menggantikan Rasulullah setelah beliau wafat . para sahabat  telah  sepakat dalam hal itu mereka cepat-cepat memilih Khalifah Rasulullah sebelum menguburkan jasad beliau yang mulia di tempat peristirahatannya yang terakhir. Maka seperti yang diucapkan oleh salah seorang sahabat, “para sahabat tidak dapat tenang hidup satu detikpun tanpa ada ikatan jamaah”. Tidak seorangpun dari kalangan sahabat yang menyimpang dari kesepakatan ini dan melawan arus dengan mengatakan tidak perlu adanya seseorang yang menggatikan Rasulullah SAW. Para sahabat sepakat akan keharusan ditegakkannya kekhalifahan-walau mereka berbeda pendapat seputar siapa yang akan dipilih untuk menjadi khalifah, pada akhirnya mereka sepakat setelah melalui tukar pikiran dan musyawarah untuk memilih Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai Khalifah Rasul SAW. Dalam kesempatan ini dapat dilihat bahwa para sahabat telah merumuskan urgenitas sistem kekalifahan melalui jalur ijma, dan Abu Bakar r.a merupakan khlifah pertama dalam Islam.
1.      Kesinambungan negara Islam
Ijma para sahabat berkenaan dengan keharusan ditentukannya pengganti Rasulullah SAW. secara subtansial, berarti wajibnya mempertahankan kesinambungan negara yang didirikan oleh Rasulullah bersama para sahabat sejak kedatangan hijrah ke Madinah. Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi telah mendirikan “sistem” dan sistem ini terus dilaksanakan sepanjang hidupnya. Atau, jika kita memakai ungkapan modern bahwa sistem tersebut adalah “sebuah negara” karena Nabi merupakan utusan Allah untuk umat semua generasinya dan untuk manusia secara menyeluruh, serta agama Islam merupakan risalah yang kekal dan abadi sepanjang masa. Itulah yang dimaksud Abu Bakar r.a dalam pidatonya, “Barang siapa menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tetap hidup dan tidak mati. Selain itu, agama ini membutuhkan seseorang pemimpin yang menerapkan ajaran-ajarannya”. Dengan demikian, sistem yang telah didirikan oleh Rasul beserta orang-orang mukmin yang ketika itu adalah para sahabat haruslah tetap dipertahankan kesinambungannya.
Dengan demikian, kewajiban meneggakkan sistem kekhalifahan sudah didasarkan atas ijma dan sunnah operasional (amali), sebagaimana dapat ditetapkan dengan berdasarkan Al-Qur’an, petunjuk-petunjuk rasional dan agama yang sebagiannya telah kita uraikan pada kesempatan sebelumnya.
2.      Khalifah Dipilih oleh Umat
Pertemuan para sahabat pada hari Saqifah merupakan pertemuan bersejarah yang paling besar pengaruhnya terhadap perjalanan sejarah umat Islam. Dalam pertemuan ini diputuskan adanya keharusan untuk mendirikan kekhalifahan. Pada pertemuan itu telah diputuskan juga sebuah prinsip yang sangat urgen bahwa pemilihan seorang khalifah hanya terlaksana melalui prosedur pemilihan dari umat, aspirasi umat atau wakil umat yang aspiratif dan merepresentasikan kedaulatan umat: seperti para sahabat yang berkumpul pada hari Saqifah. Sejarah tidak pernah menyebutkan adanya seseorang yang menklaim adanya teks dari Rasul yang menunjukkan seseorang atau sebuah kelompok keluarga tertentu untuk mengemban jabatan kekhalifahan. Klaim-klaim ini seperti ini muncul setelah pertemuan hari Saqifah dari golongan Syi’ah yang secara fanatik loyal (tasyayyu) kepada Ali r.a serta keturunannya. Oleh karena itu, merupakan kesepakatan final bagi kelompok Ahlus Sunnah-dan mereka merupakan kelompok mayoritas Islam-dan disepakati juga pendapat mereka dalam hal ini oleh kelompok Mutakzilah, Murjiah dan Khawarij bahwa jalan menuju keimamahan atau kekhalifahan yang konstitusional atau bahwa sumber kekuasaan khlaifah hanya dapat dicapai melalui prosedur pemilihan umum oleh umat, yang dicerminkan dengan prosedur pembaitan. Dengan demikian, umat merupakan dasar legitimasi/ pemerintahan, khalifah atau pemimpin yang dipilih oleh umat tidak peduli apapun namanya.
  1. Kekhalifahan Ali
Berkaitan dengan khlifah Ali, sesungguhnya pembaitan terhadapnya berlangsung dalam situasi yang penuh gonjang-ganjing. Walaupun harus digarisbawahi beliau adalah sahabat terbaik yang masih hidup pada saat itu dan paling berhak memegang kekhalifahan, sayangnya kondisi tidak mendukung. Syaidina Ali telah dibaiat oleh penduduk Madinah, kecuali sekelompok kalangan sahabat yang menolak. Diantara yang ikut membaiat adalah kelompok yang pemberontak yang menentang Utsman, dan sebagian di antara mereka ikut bertanggungjawab atas darah kematian Utsman. Pembaiatan Ali didukung juga oleh masyarakat Hijaz dan Irak, tetapi masyarakat Syam dibawah pimpinan Muawiyah kala itu menjadi gubernur mereka-Muawiyah adalah salah seorang sahabat yang memimpin perang penaklukan Syam-menolak untuk membaiat. Mereka meminta hak Qishash dari para pembunuh Utsman terlebih dahulu, juga memprotes keikutsertaan kaum pemberontak dalam pembaiatan. Ketika Ali meyakini kekhalifahannya sah dan telah terlaksana dengan pemabiatan dari masyarakat Madinah, diapun berpendapat bahwa sudah menjdi kewajban baginya untuk berupaya menyatukan negara dan menundukkan orang-orang yang memberontak, hingga terjadilah peperangan-peperangan yang terkenal antara Ali melawan beberapa gellintir sahabat yang melarikan diri ke negeri Irak, dan juga antara Ali-beserta para pendukungnya dari Hijaz dan Irak-melawan Muawiyah berikut para pendukungnya dari negeri Syam, kemudian peperangan antara Ali melawan kelompok Khawarij. Rangkaian peristiwa tersebut berakhir dengan terbunuhnya Ali di tangan salah seorang kelompok Khawarij di kota Kufah. Ali digantikan oleh anaknya, al- Hasan. Setelah lebih kurang satu tahun, terjadilah suatu perjanjian damai antara al-Hasan dan Muawiyah dan al-Hasan melepaskan tuntutannya atas kekhalifahan. Sejak detik itu tongkat kekhalifahan sudah berada di tangan Muawiyah. Di pihak lain, jauh sebelumnya masyarakat Syam telah membaiat Muawiyah untuk menjadi khalifah, yaitu setelah terjadi peristiwa arbitrase (tahkim), yang terlaksana pada tahun 37 Hijriah. Sedangkan, pembaiatan secara umum, setelah perjanjian perdamaian, terjadi pada tahun 41 Hijriah. Oleh karena itu, tahun ini disebut sebagai “Tahun Persatuan” karena pada tahun tersebut umat Islam kembali bersatu padu dibawah pimpinan satu orang khalifah.
  1. Berbagai Opini Sekitar Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan Politik al-Qur’an
Sekitar tiga belas abad sudah politik “mengangkat Al-Qur’an di ujung tombak”, banyak atau sedikit penganutnya menjadi lumrah di kalangan kaum Muslim. Ia telah berjangkit, khususnya mereka dikalangan mereka yang ingin memperoleh manfaat daripadanya kapan saja kepura-puraan yang suci dan eksoterisme tumbuh subur dan menjadi mode untuk memperagakan kesalehan dan kepertapaan seseorang.[2]
Kelompok Ahlus Sunnah melihat bahwa kekhalifahan Ali telah terlaksana dari masyarakat kota Madinah atau mayoritas penduduknya, dan penduduk kota Madinah merupakan orang-orang yang telah membaiat tiga khalifah sebelum Ali. Hal itu diikuti oleh penduduk kota-kota besar lainnya karena Ali pada waktu itu merupakan seorang sahabat terbaik dan yang paling memenuhi syarat. Dia berasal dari kelompok Muhajirin pertama yang ditangan mereka Allah SWT telah menjayakan Islam, juga karena hubungan darahnya dengan Rasulullah SAW, maka didasari oleh itu, semua kelompok Ahlus Sunnah mengkategorikan Ali sebagai khalifah keempat dari Khulafaur Rasyidin. Mayoritas ulama Mutakzilah dalam hal ini sepakat dengan kelompok Ahlus Sunnah, kecuali dua orang ulama dari kalangan mereka yang berbeda pendapat, yaitu Abu Bakar al-Asham dan Hisyam bin Amr al-Futhi karena keduanya memandang bahwa kekahlifahan tidak terlaksana kecuali setelah melalui kesepakatan umat representatif, sedangkan dalam kasus Ali, belum memperoleh kesepakatan umat sebagaimana yang terjadi terhadap tiga khalifah sebelumnya. Bahkan, kedua ulama tersebut terus menggunakan logika mereka berdua dan mengklaim Muawiyah sebagai khalifah atau imam keempat, karena dalam pandangan mereka, kesepakatan umat telah tercapai bagi Muawiyah. Akan tetapi, statemen keduanya dibantah dengan fakta lain bahwa sesungguhnya umat Islam belum juga mencapai kata sepakat terhadap kekhalifahan Muawiyah. Walaupun sesungguhnya perselisihan telah berakhir setelah tahun persatuan (amul-jamaah), tetapi tidak dapat dikatakan dalam hal ini bahwa umat Islam secara keseluruhan rela dengan senang hati terhadap kekahlifahan Muawiyah. Permasalahannya lebih dapat dikatakan sebagai penerimaan terhadap realita yang sejati, dan tidak ada pembaiatan umum secara sukarela.
Kelompok Khawarij juga mengakui keabsahan kekhalifahan Ali dan terlaksanakan pembaiatan Ali. Sebelumnya mereka memang memihak kepada Ali dan berjuang di bawah bendera Ali, tetapi mereka membelot dari kelompok Ali setelah terjadi abitrase (tahkim). Pembelotan in terjadi karena mereka  menginginkan peperangan terus dilanjutkan demi mengalahkan kelompok-kelompok pembangkang.
Kelompok Syi’ah meyakini bahwa ada teks Nabi SAW yang berisi wasiat yamg menunjuk Ali sebagai khalifah-ini menurut paham mazhab al-Imamah-atau bahwa sesungguhnya Nabi telah menentukan Ali dengan secara implisit dengan mengacu kepada sifat-sifat tertentu (yang hanya ada pada Ali)-ini menurut paham mazhab az-Zaidah-mereka tentunya menguatkan absahnya kekhalifahan Ali dan memproklamasikan bahwa Ali adalah imam (pemimpin) yang hakiki. Bahkan, mereka meyakini bahwa Ali merupakan satu-satunya pemilik tunggal yang sah dalam kekhalifahan sejak wafat Rasulullah SAW, karena mereka berpendapat bahwa umat tidak punya hak untuk memilih seorang imam (khalifah). Akan tetapi, ada satu golongan dari kelompok Syi’ah dan mereka itu adalah kelompok az-Zaidiyah-sebagaimana telah kita sebutkan- yang tetap mengakui keimamahan Abu Bakar r.a dan Umar r.a. dengan demikian dalam hal ini, pendapat mereka sesuai dengan pendapat umat Islam lainnya.
Syiah Imamiah adalah pengikut Muhammad yang biasa dipanggil al-Baqir, adik kandung Zaid bin Ali (Zainal Abidin) bin Husain (asy-Syahid), dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad (al-Baqir). Mereka biasa diberi label sebagai kelompok ar-Rafidhah karena mereka menolak keimamahan Abu Bakar r.a dan Umar r.a . karena keinginan mereka belum berhasil untuk mengangkat salah satu keturunan anak Ali untuk menjadi khalifah, dan mereka juga kalah dalam lapangan politik, terlebih-lebih ketika kelompok al-Abbasiyyin memonopoli kekhalifahan tanpa mengikutsertakan mereka-maka periode Abbasiah, ketika dimulainya periode kodifikasi ilmu-ilmu Islam, mereka mengukuhkan identitas paham kelompok mereka dan menyebarluaskannya melalui tulisan. Sehingg adapat dikatakan bahwa mereka merupakan kelompok Islam pertama yang menulis permasalahan keimamahan-sebagaimana yang telah kita singgung sebelumnya dengan tujuan mengukuhkan hak Ali atas jabatan kekhalifahan dan untuk menguatkan tuntutan golongan Alawiyyin. Mereka sangat bersemangat dalam hal ini. Kelompok Ahlus Sunnah dan Mutakzilah memberi bantahan atas dakwaan mereka. Karena itu dalam buku-buku ilmu kalam kelompok Ahlus Sunnah selalu terdapat satu pasal pembahasan yang bertema, “pasal yang menerangkan bahwa Abu Bakar merupakan imam khalifah yang sah setelah Rasulullah SAW”.

PENUTUP
Jadi, bahwasanya sistem kekhalifahan Khulafaur Rasyidin secara keseluruhan merupakan sistem kekhalifahan yang berlangsung melalui jalan musyawarah dan pilihan dengan baiat, dan bukan merupakan sistem keturunan, Abu Bakar r.a dan Umar r.a tidak menentukan seseorang dari anak-anak mereka untuk menjadi seorang khalifah walaupun mereka sebetulnya memiliki juga putra, tetapi keduanya justru mewasiatkan persoalan kekhailfahan kepada yang lebih utama dan lebih cakap dari kalangan umat Islam. Bahkan Umar r.a dengan jelas mengesampingkan hak anaknya Abdullah bin Umar untuk mencalonkan diri meraih jabatan kekhalifahan ketika dia mewasiatkan kepada tim permusyawaratan (Ahli Syura) untuk memilih seorang yang akan menggatikannya. Padahal waktu itu Abdullah juga termasuk dalam salah satu anggota tim permusyawaratan (Ahli Syura) tersebut. Abdullah terkenal dengan ketakwaan dan kesalehannya, serta merupakan teladan dalam persoalan agama dan ilmu. Demikian juga Utsman dan Ali, mereka berdua tidak mewasiatkan kekhalifahan kepada salah seorang dari anak keturunan mereka.
Itulah periode Khulafaur Rasyidin: periode kekhalifahan yang sah dan sesuai dengan syariat, atau kekhalifahan yang sempurna. Periode ini merupakan sistem keimamahan yang di dalamnya terjalin keselarasan antara ralita dan idelaisme.


DAFTAR PUTAKA

Mutahhari, Murtadha. Karakter Agung Ali bin Abi Thalib. Jakarta: Pustaka Zahra. 2002.
Rais, M. Dhiauddin. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani. 2001.


[1] M. Dhiauddin Rais. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani. 2001. Hlm 136-139
[2] Murtadha Mutahhari. Karakter Agung Ali bin Abi Thalib. Jakarta: Pustaka Zahra. 2002. Hlm 166

Tidak ada komentar:

Posting Komentar