Senin, 13 Oktober 2014

Politik Pendidikan


PEMBAHASAN
Politik Pendidikan Masa Khulafaur Rasyidin
A.    Kekhalifahan Khulafaur Rasyidin[1]
Berkenaan dengan kekhalifahan fase pertama atau kekhalifahan Khulafaur Rasyidin, kelompok Ahlus Sunnah secara keseluruhan-yang notebene- adalah kelompok mayoritas umat Islam-berpendapat bahwa kekhlifahan Khulafaur Rasyidin sah dan legitimate menurut prinsip-prinsip syariat. Tidak mengherankan, karena fase ini merupakan periode para sahabat, yang notabebe hidup pada semasa dengan Rasulullah SAW. yang menemani beliau dan turut serta di dalam membangun negara bersama Rasulullah beserta kaum mukmin.
Sahabat-sahabat Rasulullah adalah orang-orang yang memahami hakikat inti ajaran Islam dan mereka adalah panutan utama dalam agama setelah Rasulullah. Oleh karena itu, para mujtahid (pengkaji hukum yang memiliki kualifikasi ijtihad) Islam ulama Ahlus Sunnah menjadi ijma (konsensus) sahabat sebagai bukti pertama-sebagaimana yang telah diketahui-adanya keharusan menegakkan keimamahan atau kekhalifahan serta keharusan untuk menunjuk seseorang yang menggantikan Rasulullah setelah beliau wafat . para sahabat  telah  sepakat dalam hal itu mereka cepat-cepat memilih Khalifah Rasulullah sebelum menguburkan jasad beliau yang mulia di tempat peristirahatannya yang terakhir. Maka seperti yang diucapkan oleh salah seorang sahabat, “para sahabat tidak dapat tenang hidup satu detikpun tanpa ada ikatan jamaah”. Tidak seorangpun dari kalangan sahabat yang menyimpang dari kesepakatan ini dan melawan arus dengan mengatakan tidak perlu adanya seseorang yang menggatikan Rasulullah SAW. Para sahabat sepakat akan keharusan ditegakkannya kekhalifahan-walau mereka berbeda pendapat seputar siapa yang akan dipilih untuk menjadi khalifah, pada akhirnya mereka sepakat setelah melalui tukar pikiran dan musyawarah untuk memilih Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai Khalifah Rasul SAW. Dalam kesempatan ini dapat dilihat bahwa para sahabat telah merumuskan urgenitas sistem kekalifahan melalui jalur ijma, dan Abu Bakar r.a merupakan khlifah pertama dalam Islam.
1.      Kesinambungan negara Islam
Ijma para sahabat berkenaan dengan keharusan ditentukannya pengganti Rasulullah SAW. secara subtansial, berarti wajibnya mempertahankan kesinambungan negara yang didirikan oleh Rasulullah bersama para sahabat sejak kedatangan hijrah ke Madinah. Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi telah mendirikan “sistem” dan sistem ini terus dilaksanakan sepanjang hidupnya. Atau, jika kita memakai ungkapan modern bahwa sistem tersebut adalah “sebuah negara” karena Nabi merupakan utusan Allah untuk umat semua generasinya dan untuk manusia secara menyeluruh, serta agama Islam merupakan risalah yang kekal dan abadi sepanjang masa. Itulah yang dimaksud Abu Bakar r.a dalam pidatonya, “Barang siapa menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tetap hidup dan tidak mati. Selain itu, agama ini membutuhkan seseorang pemimpin yang menerapkan ajaran-ajarannya”. Dengan demikian, sistem yang telah didirikan oleh Rasul beserta orang-orang mukmin yang ketika itu adalah para sahabat haruslah tetap dipertahankan kesinambungannya.
Dengan demikian, kewajiban meneggakkan sistem kekhalifahan sudah didasarkan atas ijma dan sunnah operasional (amali), sebagaimana dapat ditetapkan dengan berdasarkan Al-Qur’an, petunjuk-petunjuk rasional dan agama yang sebagiannya telah kita uraikan pada kesempatan sebelumnya.
2.      Khalifah Dipilih oleh Umat
Pertemuan para sahabat pada hari Saqifah merupakan pertemuan bersejarah yang paling besar pengaruhnya terhadap perjalanan sejarah umat Islam. Dalam pertemuan ini diputuskan adanya keharusan untuk mendirikan kekhalifahan. Pada pertemuan itu telah diputuskan juga sebuah prinsip yang sangat urgen bahwa pemilihan seorang khalifah hanya terlaksana melalui prosedur pemilihan dari umat, aspirasi umat atau wakil umat yang aspiratif dan merepresentasikan kedaulatan umat: seperti para sahabat yang berkumpul pada hari Saqifah. Sejarah tidak pernah menyebutkan adanya seseorang yang menklaim adanya teks dari Rasul yang menunjukkan seseorang atau sebuah kelompok keluarga tertentu untuk mengemban jabatan kekhalifahan. Klaim-klaim ini seperti ini muncul setelah pertemuan hari Saqifah dari golongan Syi’ah yang secara fanatik loyal (tasyayyu) kepada Ali r.a serta keturunannya. Oleh karena itu, merupakan kesepakatan final bagi kelompok Ahlus Sunnah-dan mereka merupakan kelompok mayoritas Islam-dan disepakati juga pendapat mereka dalam hal ini oleh kelompok Mutakzilah, Murjiah dan Khawarij bahwa jalan menuju keimamahan atau kekhalifahan yang konstitusional atau bahwa sumber kekuasaan khlaifah hanya dapat dicapai melalui prosedur pemilihan umum oleh umat, yang dicerminkan dengan prosedur pembaitan. Dengan demikian, umat merupakan dasar legitimasi/ pemerintahan, khalifah atau pemimpin yang dipilih oleh umat tidak peduli apapun namanya.
  1. Kekhalifahan Ali
Berkaitan dengan khlifah Ali, sesungguhnya pembaitan terhadapnya berlangsung dalam situasi yang penuh gonjang-ganjing. Walaupun harus digarisbawahi beliau adalah sahabat terbaik yang masih hidup pada saat itu dan paling berhak memegang kekhalifahan, sayangnya kondisi tidak mendukung. Syaidina Ali telah dibaiat oleh penduduk Madinah, kecuali sekelompok kalangan sahabat yang menolak. Diantara yang ikut membaiat adalah kelompok yang pemberontak yang menentang Utsman, dan sebagian di antara mereka ikut bertanggungjawab atas darah kematian Utsman. Pembaiatan Ali didukung juga oleh masyarakat Hijaz dan Irak, tetapi masyarakat Syam dibawah pimpinan Muawiyah kala itu menjadi gubernur mereka-Muawiyah adalah salah seorang sahabat yang memimpin perang penaklukan Syam-menolak untuk membaiat. Mereka meminta hak Qishash dari para pembunuh Utsman terlebih dahulu, juga memprotes keikutsertaan kaum pemberontak dalam pembaiatan. Ketika Ali meyakini kekhalifahannya sah dan telah terlaksana dengan pemabiatan dari masyarakat Madinah, diapun berpendapat bahwa sudah menjdi kewajban baginya untuk berupaya menyatukan negara dan menundukkan orang-orang yang memberontak, hingga terjadilah peperangan-peperangan yang terkenal antara Ali melawan beberapa gellintir sahabat yang melarikan diri ke negeri Irak, dan juga antara Ali-beserta para pendukungnya dari Hijaz dan Irak-melawan Muawiyah berikut para pendukungnya dari negeri Syam, kemudian peperangan antara Ali melawan kelompok Khawarij. Rangkaian peristiwa tersebut berakhir dengan terbunuhnya Ali di tangan salah seorang kelompok Khawarij di kota Kufah. Ali digantikan oleh anaknya, al- Hasan. Setelah lebih kurang satu tahun, terjadilah suatu perjanjian damai antara al-Hasan dan Muawiyah dan al-Hasan melepaskan tuntutannya atas kekhalifahan. Sejak detik itu tongkat kekhalifahan sudah berada di tangan Muawiyah. Di pihak lain, jauh sebelumnya masyarakat Syam telah membaiat Muawiyah untuk menjadi khalifah, yaitu setelah terjadi peristiwa arbitrase (tahkim), yang terlaksana pada tahun 37 Hijriah. Sedangkan, pembaiatan secara umum, setelah perjanjian perdamaian, terjadi pada tahun 41 Hijriah. Oleh karena itu, tahun ini disebut sebagai “Tahun Persatuan” karena pada tahun tersebut umat Islam kembali bersatu padu dibawah pimpinan satu orang khalifah.
  1. Berbagai Opini Sekitar Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan Politik al-Qur’an
Sekitar tiga belas abad sudah politik “mengangkat Al-Qur’an di ujung tombak”, banyak atau sedikit penganutnya menjadi lumrah di kalangan kaum Muslim. Ia telah berjangkit, khususnya mereka dikalangan mereka yang ingin memperoleh manfaat daripadanya kapan saja kepura-puraan yang suci dan eksoterisme tumbuh subur dan menjadi mode untuk memperagakan kesalehan dan kepertapaan seseorang.[2]
Kelompok Ahlus Sunnah melihat bahwa kekhalifahan Ali telah terlaksana dari masyarakat kota Madinah atau mayoritas penduduknya, dan penduduk kota Madinah merupakan orang-orang yang telah membaiat tiga khalifah sebelum Ali. Hal itu diikuti oleh penduduk kota-kota besar lainnya karena Ali pada waktu itu merupakan seorang sahabat terbaik dan yang paling memenuhi syarat. Dia berasal dari kelompok Muhajirin pertama yang ditangan mereka Allah SWT telah menjayakan Islam, juga karena hubungan darahnya dengan Rasulullah SAW, maka didasari oleh itu, semua kelompok Ahlus Sunnah mengkategorikan Ali sebagai khalifah keempat dari Khulafaur Rasyidin. Mayoritas ulama Mutakzilah dalam hal ini sepakat dengan kelompok Ahlus Sunnah, kecuali dua orang ulama dari kalangan mereka yang berbeda pendapat, yaitu Abu Bakar al-Asham dan Hisyam bin Amr al-Futhi karena keduanya memandang bahwa kekahlifahan tidak terlaksana kecuali setelah melalui kesepakatan umat representatif, sedangkan dalam kasus Ali, belum memperoleh kesepakatan umat sebagaimana yang terjadi terhadap tiga khalifah sebelumnya. Bahkan, kedua ulama tersebut terus menggunakan logika mereka berdua dan mengklaim Muawiyah sebagai khalifah atau imam keempat, karena dalam pandangan mereka, kesepakatan umat telah tercapai bagi Muawiyah. Akan tetapi, statemen keduanya dibantah dengan fakta lain bahwa sesungguhnya umat Islam belum juga mencapai kata sepakat terhadap kekhalifahan Muawiyah. Walaupun sesungguhnya perselisihan telah berakhir setelah tahun persatuan (amul-jamaah), tetapi tidak dapat dikatakan dalam hal ini bahwa umat Islam secara keseluruhan rela dengan senang hati terhadap kekahlifahan Muawiyah. Permasalahannya lebih dapat dikatakan sebagai penerimaan terhadap realita yang sejati, dan tidak ada pembaiatan umum secara sukarela.
Kelompok Khawarij juga mengakui keabsahan kekhalifahan Ali dan terlaksanakan pembaiatan Ali. Sebelumnya mereka memang memihak kepada Ali dan berjuang di bawah bendera Ali, tetapi mereka membelot dari kelompok Ali setelah terjadi abitrase (tahkim). Pembelotan in terjadi karena mereka  menginginkan peperangan terus dilanjutkan demi mengalahkan kelompok-kelompok pembangkang.
Kelompok Syi’ah meyakini bahwa ada teks Nabi SAW yang berisi wasiat yamg menunjuk Ali sebagai khalifah-ini menurut paham mazhab al-Imamah-atau bahwa sesungguhnya Nabi telah menentukan Ali dengan secara implisit dengan mengacu kepada sifat-sifat tertentu (yang hanya ada pada Ali)-ini menurut paham mazhab az-Zaidah-mereka tentunya menguatkan absahnya kekhalifahan Ali dan memproklamasikan bahwa Ali adalah imam (pemimpin) yang hakiki. Bahkan, mereka meyakini bahwa Ali merupakan satu-satunya pemilik tunggal yang sah dalam kekhalifahan sejak wafat Rasulullah SAW, karena mereka berpendapat bahwa umat tidak punya hak untuk memilih seorang imam (khalifah). Akan tetapi, ada satu golongan dari kelompok Syi’ah dan mereka itu adalah kelompok az-Zaidiyah-sebagaimana telah kita sebutkan- yang tetap mengakui keimamahan Abu Bakar r.a dan Umar r.a. dengan demikian dalam hal ini, pendapat mereka sesuai dengan pendapat umat Islam lainnya.
Syiah Imamiah adalah pengikut Muhammad yang biasa dipanggil al-Baqir, adik kandung Zaid bin Ali (Zainal Abidin) bin Husain (asy-Syahid), dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad (al-Baqir). Mereka biasa diberi label sebagai kelompok ar-Rafidhah karena mereka menolak keimamahan Abu Bakar r.a dan Umar r.a . karena keinginan mereka belum berhasil untuk mengangkat salah satu keturunan anak Ali untuk menjadi khalifah, dan mereka juga kalah dalam lapangan politik, terlebih-lebih ketika kelompok al-Abbasiyyin memonopoli kekhalifahan tanpa mengikutsertakan mereka-maka periode Abbasiah, ketika dimulainya periode kodifikasi ilmu-ilmu Islam, mereka mengukuhkan identitas paham kelompok mereka dan menyebarluaskannya melalui tulisan. Sehingg adapat dikatakan bahwa mereka merupakan kelompok Islam pertama yang menulis permasalahan keimamahan-sebagaimana yang telah kita singgung sebelumnya dengan tujuan mengukuhkan hak Ali atas jabatan kekhalifahan dan untuk menguatkan tuntutan golongan Alawiyyin. Mereka sangat bersemangat dalam hal ini. Kelompok Ahlus Sunnah dan Mutakzilah memberi bantahan atas dakwaan mereka. Karena itu dalam buku-buku ilmu kalam kelompok Ahlus Sunnah selalu terdapat satu pasal pembahasan yang bertema, “pasal yang menerangkan bahwa Abu Bakar merupakan imam khalifah yang sah setelah Rasulullah SAW”.

PENUTUP
Jadi, bahwasanya sistem kekhalifahan Khulafaur Rasyidin secara keseluruhan merupakan sistem kekhalifahan yang berlangsung melalui jalan musyawarah dan pilihan dengan baiat, dan bukan merupakan sistem keturunan, Abu Bakar r.a dan Umar r.a tidak menentukan seseorang dari anak-anak mereka untuk menjadi seorang khalifah walaupun mereka sebetulnya memiliki juga putra, tetapi keduanya justru mewasiatkan persoalan kekhailfahan kepada yang lebih utama dan lebih cakap dari kalangan umat Islam. Bahkan Umar r.a dengan jelas mengesampingkan hak anaknya Abdullah bin Umar untuk mencalonkan diri meraih jabatan kekhalifahan ketika dia mewasiatkan kepada tim permusyawaratan (Ahli Syura) untuk memilih seorang yang akan menggatikannya. Padahal waktu itu Abdullah juga termasuk dalam salah satu anggota tim permusyawaratan (Ahli Syura) tersebut. Abdullah terkenal dengan ketakwaan dan kesalehannya, serta merupakan teladan dalam persoalan agama dan ilmu. Demikian juga Utsman dan Ali, mereka berdua tidak mewasiatkan kekhalifahan kepada salah seorang dari anak keturunan mereka.
Itulah periode Khulafaur Rasyidin: periode kekhalifahan yang sah dan sesuai dengan syariat, atau kekhalifahan yang sempurna. Periode ini merupakan sistem keimamahan yang di dalamnya terjalin keselarasan antara ralita dan idelaisme.


DAFTAR PUTAKA

Mutahhari, Murtadha. Karakter Agung Ali bin Abi Thalib. Jakarta: Pustaka Zahra. 2002.
Rais, M. Dhiauddin. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani. 2001.


[1] M. Dhiauddin Rais. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani. 2001. Hlm 136-139
[2] Murtadha Mutahhari. Karakter Agung Ali bin Abi Thalib. Jakarta: Pustaka Zahra. 2002. Hlm 166

Evaluasi Pendidikan Semester V


EVALUASI PEMBELAJARAN
PERENCANAAN TES FORMATIF DAN SUMATIF



DISUSUN OLEH KELOMPOK II :
EKO WAHYUDI 12210077
ELIZA        12210078
URVIA OKTAROSA    12210263

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH dan KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2014





PEMBAHASAN
Perencanaan Tes Formatif dan Sumatif
            Sebelum mengetahui lebih dalam mengenai tes formatif dan sumatif, ada baiknya kita ketahui dahulu pengetian dari perencanaan dan tes.
  1. Pengertian Perencanaan dan Tes
Pertama, perencanaan berasal dari kata rencana yaitu pengambilan keputusan tentang apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, proses suatu perencanaan harus dimulai dari penetapan tujuan yang akan dicapai melalui analisis tujuan serta dokumen yang lengkap , kemudian menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.[1]
Kedua, Ely (1979), mengatakan bahwa perencanaan itu pada dasarnya adalah suatu proses dan cara berpikir yang dapat membantu menciptakan hasil yang diharapkan.
Ketiga, Terry (1993) mengungkapkan bahwa perencanaan itu pada dasarnya adalah penetapan pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.[2]
            Jadi, perencanaan adalah awal dari semua proses suatu pelaksanaan kegiatan yang bersifat rasional.
Selama ini tes merupakan alat ukur yang sering digunakan u ntuk mengukur keberhasilan siswa mencapai kompetensi. Tes pengukur keberhasilan adalah tes yang terdiri atas item-item  yang secara langsung mengukur tingkah laku yang harus dicapai oleh suatu proses pembelajaran.[3]
Jadi dapat disimpulkan bahwa perencanaan perencanaan dan tes adalah awal dari semua proses suatu pelaksanaan kegiatan yang bersifat rasional kemudian dilakukan tes untuk mengukur sejauh mana pemahaman yang didapat setelah mengikuti pembelajaran.

Ada dua macam tes yang akan dibahas pada makalah ini yaitu:
  1. Tes Formatif
            Dari arti kata form yang merupakan dasar dari istilah formatif maka evaluasi formatif dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana siswa terbentuk setelah mengikuti sesuatu program tertentu. Dalam kedudukannya seperti ini tes formatif ini dapat juga dipandang sebagai tes diagnostik pada akhir pelajaran.[4]
            Evaluasi formatif atau tes formatif diberikan pada akhir setiap program. Tes ini merupakan post-test atau tes akhir proses.
Pre-test ( tes awal)                              program                     post-test (tes akhir)
Evaluasi formatif mempunyai manfaat, baik bagi siswa, guru, maupun program itu sendiri.
Manfaat bagi siswa
a)      Digunakan untuk mengetahui apakah siswa sudah menguasai bahan program secara menyeluruh.
b)      Merupakan penguatan (rainforcement) bagi siswa. Dengan demiikian maka pengetahuan itu akan bertambah membekas diingatan.
c)      Usaha perbaikan. Dengan umpan balik (feed back) yang diperoleh setelah melakukan tes, siswa mengetahui kelemahan-kelemahannya.
d)     Sebagai diagnosis. Bahan pelajaran yang sedang dipelajari oleh siswa merupakan serangkaian pengetahuan, keterampilan, atau konsep. Dengan mengetahui hasil tes formatif, siswa dengan jelas dapat mengetahui bagian mana dari bahan pelajaran yang masih dirasakan sulit.

Manfaat bagi guru
Dengan telah mengetahui hasil tes formatif yang diadakan, maka guru:
a)      Mengetahui sampai mana bahan yang diajarkan sudah dapat diterima oleh siswa. Sehingga hal ini bisa menetukan strategi yang tepat untuk digunakan guru.
b)      Mengetahui bagian-bagian mana dari bahan pelajaran yang  belum menjadi milik siswa. Oleh karena itu guru bisa menjelaskan hal-hal yang belum dimengerti.
c)      Dapat meramalkan sukses dan tidaknya seluruh program yang akan diberikan.

Manfaat bagi program
Setelah diadakan tes formatif maka diperoleh hasil. Dari hasil tersebut dapat diketahui:
a)      Apakah program yang telah diberikan merupakan program yang tepat dalam arti sesuai dengan kecakapan anak.
b)      Apakah program tersebut membutuhkan pengetahuan-pengetahuan prasyarat yang belum diperhitungkan.
c)      Apakah diperlukan alat, sarana, dan prasarana untuk mempertinggi hasil yang akan dicapai.
d)     Apakah metode, pendekatan, dan alat evaluasi yang digunakan sudah tepat.

2.      Tes Sumatif
Evaluasi sumatif atau tes sumatif dilaksanakan setelah berakhirnya pemberian sekelompok program atau sebuah program yang lebih besar. Dalam pengalaman di sekolah, tes formatif dapat disamakan dengan ulangan harian, sedangkan tes sumatif ini dapat disamakan dengan ulangan umum yang biasanya dilaksanakan pada tiap akhir semester.[5]

Manfaat tes sumatif
Ada beberapa manfaat tes sumatif, dan 3 di antaranya yang terpenting adalah:
a)      Untuk menentukan nilai. Dalam penentuan nilai ini setiap anak dibandingkan dengan anak-anak lain. Asumsi yang mendasari pandangan ini adalah bahwa prestasi belajar siswa-siswa dalam sebuah kelas, akan tergambar dalam sebuah kurva normal.
Catatan: daerah kurva yang diperhitungkan hanya sampai batas -3 SD dan +3 SD walaupun masing-masing ekor dapat diperpanjang sampai tidak terhingga.
b)      Untuk menentukan seseorang anak dapat atau tidaknya mengikuti kelompok dalam menerima program berikutnya. Dalam kepentingan seperti ini maka tes sumatif berfungsi sebagai tes prediksi.
c)      Untuk mengisi catatan kemajuan belajar siswa yang akan berguna bagi:
1)      Orang tua siswa
2)      Pihak bimbingan dan penyuluhan di sekolah
3)      Pihak-pihak lain apabila siswa tersebut akan pindah ke sekolah lain , akan melanjutkan belajar atau kana memasuki lapangan kerja
B.     Tes Formatif dan Tes Sumatif dalam Praktek
Dalam pelaksanaannya di sekolah tes formatif merupakakn ulangan harian, sedangkan tes sumatif biasa kita kenal sebagai ulangan umum yang diadakan pada akhir semester.[6]
            Jadi dapat disimpulkan bahwa tes sumatif dilaksanakan sebagai ulangan umum, maka tes yang dilaksanakan di akhir pokok bahasan ini dapat dipandang  sabagaiu tes subsumatif atau tes unit, sedangkan ulangan itulah yang disebut tes sumatif.
            Tes pada akhir bahasan dapat dipandang sebagai tes sumatif jika pada tiap subpokok bahasan sudah diberikan tes formatif. Akan tetapi, tes pada akhir pokok bahasan ini merupakan tes formatif jika dibandingkan tes akhir dari bebebreapa pokok bahasan (yaitu pada akhir unit semester). Tegasnya, tes subsumatif dapat dipandang sebagai tes formatif maupun sumatif.

C.    Perbandingan antara Tes Formatif dan Tes Sumatif
Untuk memperoleh gambaran mengenai tes formatif dan tes sumatif secara lebih mendalam. Dalam membandingkan, akan ditinjau dari 9 aspek, yaitu: fungsi, waktu, titik berat atau tekanannya, alat evaluasi, cara memilih tujuan yang dievaluasi, tingkat kesulitan soal-soal tes, cara menyekor tingkat pencapaian, dan metode penuliskan hasil tes.
a)      Ditinjau dari fungsinya
1)      Tes formatif
Sebagai umpan-balik bagi siswa, guru, maupun program untuk menilai pelaksanaan satu unit program.
2)      Tes sumatif
Untuk memberikan tanda kepada siswa bahwa telah mengikuti suatu program, serta menentukan posisi kemampuan siswa dibandingkan dengan kawannya dalam kelompok.
b)      Ditinjau dari waktu
1)      Tes formatif
Selama pelajaran berlangsung untuk mengetahui kekurangan agar pelajaran dapat berlangsung sebaik-baiknya.
2)      Tes sumatif
Pada akhir unit caturwulan, semester akhir tahun, atau akhir pendidikan.
c)      Ditinjau dari titik berat penilaian
1)      Tes formatif
Menekankan pada tingkah laku kognitif.
2)      Tes sumatif
Pada umumnya menekankan pada tingkah laku kognitif, tetapi adakalanya pada tingkah laku psikomotor dan kadang-kadang pada afektif.
d)      Ditinjau dari alat evaluasi
1)      Tes formatif : tes prestasi belajar yang tersusun secara baik.
2)      Tes sumatif : tes ujian akhir.
e)      Ditinjau dari cara memilih tujuan yang dievaluasi
1)      Tes formatif
Mengukur semua tujuan instruksional khusus.
2)      Tes sumatifd
Mengukur tujuan instruksional umum.
f)        Ditinjau dari tingkat kesulitan tes
1)      Tes formatif : belum dapat ditentukan
2)      Tes sumatif
Rata-rata mempunyai tingkat kesulitan (indeks kesukaran) antara 0,35 sampai 0,70. Ditambah beberapa soal yang sangat mudah dan beberapa lagi sangat sukar.
g)      Ditinjau dari skoring (cara menyekor)
1)      Tes formatif : menggunakan standar mutlak (criterion referenced).
2)      Tes sumatif : kebanyakan menggunakan standar relatif (norm referenced), tetapi dapat pula dipakai standar mutlak (criterion referenced).
h)      Ditinjau dari tingkat pencapaian
Yang dimaksud dengan tingkat pencapaian adalah skor yang harus dicapai siswa dalam setiap tes. Tinggi rendahnya tuntutan terhadap tingkat pencapai tergantung dari fungsi dan tujuan masing-masing tes.



1)      Tes formatif
Ditinjau dari tujuan, tes formatif digunakan untuk mengetahui apakah siswa sudah mencapai tujuan instruksional umum yang diuraikan menjadi tujuan instruksional khusus.
2)      Tes sumatif ini dilaksanakan pada akhir program, berarti nilainya digunakan untuk menentukan kenaikan kelas atau kelulusan. Secara terpisah, tidak ditentukan tingkat pencapaiannya tetapi secara keseluruhan akan dikenakan suatu norma tertentu yaitu norma kenaikan kelas atau norma kelulusan.
i)        Ditinjau dari cara pencatatan hasil
1)      Tes formatif : prestasi tiap siswa dilaporkan dalam bentuk catatan berhasil atau gagal dalam mengusasi suatu tugas.
2)      Tes sumatif : keseluruhan skor atau sebagian skor dari tujuan-tujuan yang dicapai.

Scawia B. Anderson membedakan tes menurut dimensilimensiseperti dibawah ini:
1)      Tes ditinjau dari unsur kegiatan dapat dibedakan atas: tes pengukur proses dan tes pengukur hasil.
2)      Tes ditinjau dari tujuan penggunaan hasil, dibedakan atas: tes formatif, tes subsumatif, dan tes sumatif.
3)      Tes ditinjau dari konstruksi yang diukur, dibedakan atas: tes kepribadian, tes bakat, tes kemampuan, tes minat, perhatian dan  sikap.
4)      Tes ditinjau dari isi atau bidang studi, dibedakan atas: tes matematika, sejarah, IPA, olahraga, keterampilan dan sebagainya.
5)      Tes ditinjau dari lingkup materi yang diungkap, dibedakan atas: tes pencapaian dan tes penelusuran.

KESIMPULAN

Perencanaan tes adalah awal dari semua proses suatu pelaksanaan kegiatan yang bersifat rasional kemudian dilakukan tes untuk mengukur sejauh mana pemahaman yang didapat setelah mengikuti pembelajaran.
Evaluasi formatif atau tes formatif diberikan pada akhir setiap program. Tes ini merupakan post-test atau tes akhir proses.
Dan terkahir, Evaluasi sumatif atau tes sumatif dilaksanakan setelah berakhirnya pemberian sekelompok program atau sebuah program yang lebih besar. Dalam pengalaman di sekolah, tes formatif dapat disamakan dengan ulangan harian, sedangkan tes sumatif ini dapat disamakan dengan ulangan umum yang biasanya dilaksanakan pada tiap akhir semester.

DAFTAR PUSTAKA

Suharsimi Arikunto. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.2002.
Wina Sanjaya. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta:                                                       Kencana Prenadanmedia Group. 2008.


[1] Wina Sanjaya. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenadanmedia Group. 2008. Hlm 23
[2]Ibid. Hlm. 25-27
[3] Ibid. Hlm. 232
[4] Suharsimi Arikunto. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.2002. hlm 36
[5] Ibid. Hlm. 37-43
[6] Ibid. Hlm. 44-48