PEMBAHASAN
Politik
Pendidikan Masa Khulafaur Rasyidin
A. Kekhalifahan Khulafaur Rasyidin[1]
Berkenaan
dengan kekhalifahan fase pertama atau kekhalifahan Khulafaur Rasyidin, kelompok
Ahlus Sunnah secara keseluruhan-yang notebene- adalah kelompok mayoritas umat Islam-berpendapat
bahwa kekhlifahan Khulafaur Rasyidin sah dan legitimate menurut prinsip-prinsip syariat. Tidak mengherankan,
karena fase ini merupakan periode para sahabat, yang notabebe hidup pada semasa
dengan Rasulullah SAW. yang menemani beliau dan turut serta di dalam membangun
negara bersama Rasulullah beserta kaum mukmin.
Sahabat-sahabat
Rasulullah adalah orang-orang yang memahami hakikat inti ajaran Islam dan
mereka adalah panutan utama dalam agama setelah Rasulullah. Oleh karena itu, para
mujtahid (pengkaji hukum yang memiliki kualifikasi ijtihad) Islam ulama Ahlus
Sunnah menjadi ijma (konsensus) sahabat sebagai bukti pertama-sebagaimana yang
telah diketahui-adanya keharusan menegakkan keimamahan atau kekhalifahan serta
keharusan untuk menunjuk seseorang yang menggantikan Rasulullah setelah beliau
wafat . para sahabat telah sepakat dalam hal itu mereka cepat-cepat
memilih Khalifah Rasulullah sebelum menguburkan jasad beliau yang mulia di
tempat peristirahatannya yang terakhir. Maka seperti yang diucapkan oleh salah
seorang sahabat, “para sahabat tidak dapat tenang hidup satu detikpun tanpa ada
ikatan jamaah”. Tidak seorangpun dari kalangan sahabat yang menyimpang dari
kesepakatan ini dan melawan arus dengan mengatakan tidak perlu adanya seseorang
yang menggatikan Rasulullah SAW. Para sahabat sepakat akan keharusan
ditegakkannya kekhalifahan-walau mereka berbeda pendapat seputar siapa yang akan
dipilih untuk menjadi khalifah, pada akhirnya mereka sepakat setelah melalui
tukar pikiran dan musyawarah untuk memilih Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai
Khalifah Rasul SAW. Dalam kesempatan ini dapat dilihat bahwa para sahabat telah
merumuskan urgenitas sistem kekalifahan melalui jalur ijma, dan Abu Bakar r.a
merupakan khlifah pertama dalam Islam.
1. Kesinambungan negara Islam
Ijma
para sahabat berkenaan dengan keharusan ditentukannya pengganti Rasulullah SAW.
secara subtansial, berarti wajibnya mempertahankan kesinambungan negara yang
didirikan oleh Rasulullah bersama para sahabat sejak kedatangan hijrah ke Madinah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi telah mendirikan “sistem” dan sistem ini
terus dilaksanakan sepanjang hidupnya. Atau, jika kita memakai ungkapan modern
bahwa sistem tersebut adalah “sebuah negara” karena Nabi merupakan utusan Allah
untuk umat semua generasinya dan untuk manusia secara menyeluruh, serta agama
Islam merupakan risalah yang kekal dan abadi sepanjang masa. Itulah yang
dimaksud Abu Bakar r.a dalam pidatonya, “Barang siapa menyembah Muhammad,
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tetap hidup dan tidak mati. Selain itu,
agama ini membutuhkan seseorang pemimpin yang menerapkan ajaran-ajarannya”.
Dengan demikian, sistem yang telah didirikan oleh Rasul beserta orang-orang
mukmin yang ketika itu adalah para sahabat haruslah tetap dipertahankan kesinambungannya.
Dengan
demikian, kewajiban meneggakkan sistem kekhalifahan sudah didasarkan atas ijma
dan sunnah operasional (amali), sebagaimana dapat ditetapkan dengan berdasarkan
Al-Qur’an, petunjuk-petunjuk rasional dan agama yang sebagiannya telah kita
uraikan pada kesempatan sebelumnya.
2. Khalifah Dipilih oleh Umat
Pertemuan
para sahabat pada hari Saqifah merupakan pertemuan bersejarah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perjalanan sejarah umat Islam. Dalam pertemuan ini
diputuskan adanya keharusan untuk mendirikan kekhalifahan. Pada pertemuan itu
telah diputuskan juga sebuah prinsip yang sangat urgen bahwa pemilihan seorang
khalifah hanya terlaksana melalui prosedur pemilihan dari umat, aspirasi umat
atau wakil umat yang aspiratif dan merepresentasikan kedaulatan umat: seperti
para sahabat yang berkumpul pada hari Saqifah. Sejarah tidak pernah menyebutkan
adanya seseorang yang menklaim adanya teks dari Rasul yang menunjukkan
seseorang atau sebuah kelompok keluarga tertentu untuk mengemban jabatan
kekhalifahan. Klaim-klaim ini seperti ini muncul setelah pertemuan hari Saqifah
dari golongan Syi’ah yang secara fanatik loyal (tasyayyu) kepada Ali r.a serta keturunannya. Oleh karena itu,
merupakan kesepakatan final bagi kelompok Ahlus Sunnah-dan mereka merupakan kelompok
mayoritas Islam-dan disepakati juga pendapat mereka dalam hal ini oleh kelompok
Mutakzilah, Murjiah dan Khawarij bahwa jalan menuju keimamahan atau
kekhalifahan yang konstitusional atau bahwa sumber kekuasaan khlaifah hanya
dapat dicapai melalui prosedur pemilihan umum oleh umat, yang dicerminkan
dengan prosedur pembaitan. Dengan demikian, umat merupakan dasar legitimasi/
pemerintahan, khalifah atau pemimpin yang dipilih oleh umat tidak peduli apapun
namanya.
- Kekhalifahan Ali
Berkaitan
dengan khlifah Ali, sesungguhnya pembaitan terhadapnya berlangsung dalam
situasi yang penuh gonjang-ganjing. Walaupun harus digarisbawahi beliau adalah
sahabat terbaik yang masih hidup pada saat itu dan paling berhak memegang
kekhalifahan, sayangnya kondisi tidak mendukung. Syaidina Ali telah dibaiat
oleh penduduk Madinah, kecuali sekelompok kalangan sahabat yang menolak.
Diantara yang ikut membaiat adalah kelompok yang pemberontak yang menentang
Utsman, dan sebagian di antara mereka ikut bertanggungjawab atas darah kematian
Utsman. Pembaiatan Ali didukung juga oleh masyarakat Hijaz dan Irak, tetapi
masyarakat Syam dibawah pimpinan Muawiyah kala itu menjadi gubernur mereka-Muawiyah
adalah salah seorang sahabat yang memimpin perang penaklukan Syam-menolak untuk
membaiat. Mereka meminta hak Qishash dari para pembunuh Utsman terlebih dahulu,
juga memprotes keikutsertaan kaum pemberontak dalam pembaiatan. Ketika Ali
meyakini kekhalifahannya sah dan telah terlaksana dengan pemabiatan dari
masyarakat Madinah, diapun berpendapat bahwa sudah menjdi kewajban baginya
untuk berupaya menyatukan negara dan menundukkan orang-orang yang memberontak, hingga
terjadilah peperangan-peperangan yang terkenal antara Ali melawan beberapa
gellintir sahabat yang melarikan diri ke negeri Irak, dan juga antara
Ali-beserta para pendukungnya dari Hijaz dan Irak-melawan Muawiyah berikut para
pendukungnya dari negeri Syam, kemudian peperangan antara Ali melawan kelompok
Khawarij. Rangkaian peristiwa tersebut berakhir dengan terbunuhnya Ali di
tangan salah seorang kelompok Khawarij di kota Kufah. Ali digantikan oleh
anaknya, al- Hasan. Setelah lebih kurang satu tahun, terjadilah suatu
perjanjian damai antara al-Hasan dan Muawiyah dan al-Hasan melepaskan
tuntutannya atas kekhalifahan. Sejak detik itu tongkat kekhalifahan sudah
berada di tangan Muawiyah. Di pihak lain, jauh sebelumnya masyarakat Syam telah
membaiat Muawiyah untuk menjadi khalifah, yaitu setelah terjadi peristiwa
arbitrase (tahkim), yang terlaksana pada tahun 37 Hijriah. Sedangkan, pembaiatan
secara umum, setelah perjanjian perdamaian, terjadi pada tahun 41 Hijriah. Oleh
karena itu, tahun ini disebut sebagai “Tahun Persatuan” karena pada tahun
tersebut umat Islam kembali bersatu padu dibawah pimpinan satu orang khalifah.
- Berbagai Opini Sekitar Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan Politik al-Qur’an
Sekitar
tiga belas abad sudah politik “mengangkat Al-Qur’an di ujung tombak”, banyak
atau sedikit penganutnya menjadi lumrah di kalangan kaum Muslim. Ia telah
berjangkit, khususnya mereka dikalangan mereka yang ingin memperoleh manfaat
daripadanya kapan saja kepura-puraan yang suci dan eksoterisme tumbuh subur dan
menjadi mode untuk memperagakan kesalehan dan kepertapaan seseorang.[2]
Kelompok
Ahlus Sunnah melihat bahwa kekhalifahan Ali telah terlaksana dari masyarakat
kota Madinah atau mayoritas penduduknya, dan penduduk kota Madinah merupakan
orang-orang yang telah membaiat tiga khalifah sebelum Ali. Hal itu diikuti oleh
penduduk kota-kota besar lainnya karena Ali pada waktu itu merupakan seorang
sahabat terbaik dan yang paling memenuhi syarat. Dia berasal dari kelompok
Muhajirin pertama yang ditangan mereka Allah SWT telah menjayakan Islam, juga
karena hubungan darahnya dengan Rasulullah SAW, maka didasari oleh itu, semua
kelompok Ahlus Sunnah mengkategorikan Ali sebagai khalifah keempat dari Khulafaur
Rasyidin. Mayoritas ulama Mutakzilah dalam hal ini sepakat dengan kelompok
Ahlus Sunnah, kecuali dua orang ulama dari kalangan mereka yang berbeda
pendapat, yaitu Abu Bakar al-Asham dan Hisyam bin Amr al-Futhi karena keduanya
memandang bahwa kekahlifahan tidak terlaksana kecuali setelah melalui
kesepakatan umat representatif, sedangkan dalam kasus Ali, belum memperoleh
kesepakatan umat sebagaimana yang terjadi terhadap tiga khalifah sebelumnya.
Bahkan, kedua ulama tersebut terus menggunakan logika mereka berdua dan mengklaim
Muawiyah sebagai khalifah atau imam keempat, karena dalam pandangan mereka,
kesepakatan umat telah tercapai bagi Muawiyah. Akan tetapi, statemen keduanya
dibantah dengan fakta lain bahwa sesungguhnya umat Islam belum juga mencapai
kata sepakat terhadap kekhalifahan Muawiyah. Walaupun sesungguhnya perselisihan
telah berakhir setelah tahun persatuan (amul-jamaah),
tetapi tidak dapat dikatakan dalam hal ini bahwa umat Islam secara keseluruhan rela
dengan senang hati terhadap kekahlifahan Muawiyah. Permasalahannya lebih dapat
dikatakan sebagai penerimaan terhadap realita yang sejati, dan tidak ada
pembaiatan umum secara sukarela.
Kelompok
Khawarij juga mengakui keabsahan kekhalifahan Ali dan terlaksanakan pembaiatan
Ali. Sebelumnya mereka memang memihak kepada Ali dan berjuang di bawah bendera
Ali, tetapi mereka membelot dari kelompok Ali setelah terjadi abitrase
(tahkim). Pembelotan in terjadi karena mereka
menginginkan peperangan terus dilanjutkan demi mengalahkan
kelompok-kelompok pembangkang.
Kelompok
Syi’ah meyakini bahwa ada teks Nabi SAW yang berisi wasiat yamg menunjuk Ali
sebagai khalifah-ini menurut paham mazhab al-Imamah-atau bahwa sesungguhnya
Nabi telah menentukan Ali dengan secara implisit dengan mengacu kepada
sifat-sifat tertentu (yang hanya ada pada Ali)-ini menurut paham mazhab
az-Zaidah-mereka tentunya menguatkan absahnya kekhalifahan Ali dan
memproklamasikan bahwa Ali adalah imam (pemimpin) yang hakiki. Bahkan, mereka
meyakini bahwa Ali merupakan satu-satunya pemilik tunggal yang sah dalam
kekhalifahan sejak wafat Rasulullah SAW, karena mereka berpendapat bahwa umat
tidak punya hak untuk memilih seorang imam (khalifah). Akan tetapi, ada satu
golongan dari kelompok Syi’ah dan mereka itu adalah kelompok
az-Zaidiyah-sebagaimana telah kita sebutkan- yang tetap mengakui keimamahan Abu
Bakar r.a dan Umar r.a. dengan demikian dalam hal ini, pendapat mereka sesuai
dengan pendapat umat Islam lainnya.
Syiah
Imamiah adalah pengikut Muhammad yang biasa dipanggil al-Baqir, adik kandung
Zaid bin Ali (Zainal Abidin) bin Husain (asy-Syahid), dilanjutkan oleh anaknya
yang bernama Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad (al-Baqir). Mereka biasa diberi
label sebagai kelompok ar-Rafidhah karena mereka menolak keimamahan Abu Bakar
r.a dan Umar r.a . karena keinginan mereka belum berhasil untuk mengangkat
salah satu keturunan anak Ali untuk menjadi khalifah, dan mereka juga kalah
dalam lapangan politik, terlebih-lebih ketika kelompok al-Abbasiyyin memonopoli
kekhalifahan tanpa mengikutsertakan mereka-maka periode Abbasiah, ketika
dimulainya periode kodifikasi ilmu-ilmu Islam, mereka mengukuhkan identitas
paham kelompok mereka dan menyebarluaskannya melalui tulisan. Sehingg adapat
dikatakan bahwa mereka merupakan kelompok Islam pertama yang menulis
permasalahan keimamahan-sebagaimana yang telah kita singgung sebelumnya dengan
tujuan mengukuhkan hak Ali atas jabatan kekhalifahan dan untuk menguatkan
tuntutan golongan Alawiyyin. Mereka sangat bersemangat dalam hal ini. Kelompok
Ahlus Sunnah dan Mutakzilah memberi bantahan atas dakwaan mereka. Karena itu
dalam buku-buku ilmu kalam kelompok Ahlus Sunnah selalu terdapat satu pasal
pembahasan yang bertema, “pasal yang menerangkan bahwa Abu Bakar merupakan imam
khalifah yang sah setelah Rasulullah SAW”.
PENUTUP
Jadi,
bahwasanya sistem kekhalifahan Khulafaur Rasyidin secara keseluruhan merupakan
sistem kekhalifahan yang berlangsung melalui jalan musyawarah dan pilihan
dengan baiat, dan bukan merupakan sistem keturunan, Abu Bakar r.a dan Umar r.a
tidak menentukan seseorang dari anak-anak mereka untuk menjadi seorang khalifah
walaupun mereka sebetulnya memiliki juga putra, tetapi keduanya justru
mewasiatkan persoalan kekhailfahan kepada yang lebih utama dan lebih cakap dari
kalangan umat Islam. Bahkan Umar r.a dengan jelas mengesampingkan hak anaknya
Abdullah bin Umar untuk mencalonkan diri meraih jabatan kekhalifahan ketika dia
mewasiatkan kepada tim permusyawaratan (Ahli Syura) untuk memilih seorang yang
akan menggatikannya. Padahal waktu itu Abdullah juga termasuk dalam salah satu
anggota tim permusyawaratan (Ahli Syura) tersebut. Abdullah terkenal dengan
ketakwaan dan kesalehannya, serta merupakan teladan dalam persoalan agama dan
ilmu. Demikian juga Utsman dan Ali, mereka berdua tidak mewasiatkan
kekhalifahan kepada salah seorang dari anak keturunan mereka.
Itulah
periode Khulafaur Rasyidin: periode kekhalifahan yang sah dan sesuai dengan
syariat, atau kekhalifahan yang sempurna. Periode ini merupakan sistem
keimamahan yang di dalamnya terjalin keselarasan antara ralita dan idelaisme.
DAFTAR
PUTAKA
Mutahhari, Murtadha. Karakter Agung Ali bin Abi Thalib. Jakarta: Pustaka Zahra. 2002.
Rais, M. Dhiauddin. Teori Politik Islam. Jakarta:
Gema
Insani. 2001.