PENDAHULUAN
Kehidupan globalisasi telah dengan nyata melanda kehidupan
kita. Suka ataupun tidak suka, ummat Islam harus menghadapinya dengan segala
implikasinya. Ciri-ciri kehidupan global[1] antara lain: Pertama,
terjadinya pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan
perdagangan, investasi dan informasi; dari keseimbangan kekuatan (balance of power) ke arah
keseimbangan kepentingan (balance of interest).
Kedua, hubungan antar negara/bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan
(dependency) ke arah saling
ketergantungan (interdependency),
hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat tergantung kepada
posisi tawar-menawar (bargaining position).
Ketiga, batas-batas geografis hampir kehilangan arti operasionalnya. Kekuatan
suatu negara ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan
kompetitif (competitive advantage).
Keempat, persaingan antar negara sangat diwarnai oleh perang penguasaan
teknologi tinggi. Setiap negara terpaksa menyediakan dana yang besar bagi
penelitian dan pengembangan. Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung
mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi tidak
efisien.
Pergaulan global dengan cirinya seperti diuraikan diatas,
disamping mendatangkan sejumlah kemudahan bagi manusia, juga mendatangkan
sejumlah efek negatif yang dapat merugikan dan mengancam kehidupan. Dampak
negatif tersebut antara lain: Pertama, pemiskinan nilai spiritual. Tindakan
sosial yang tidak mempunyai implikasi materi (tidak produktif) dianggap sebagai
tindakan tidak rasional. Kedua, kejatuhan manusia dari mahluk spiritual menjadi
mahluk material, yang menyebabkan nafsu hayawaniyyah menjadi pemandu kehidupan
manusia. Ketiga, peran agama digeser menjadi urusan akhirat sedang urusan dunia
menjadi urusan sains (sekularistik). Keempat, Tuhan hanya hadir dalam pikiran,
lisan, dan tulisan, tetapi tidak hadir dalam perilakudan tindakan. Kelima,
gabungan ikatan primordial dengan sistem politik modern melahirkan nepotisme,
birokratisme, dan otoriterisme. Keenam, Individualistik. Keluarga pada umumnya
kehilangan fungsinya sebagai unit terkecil pengambil keputusan. Seseorang
bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, tidak lagi bertanggung-jawab pada
keluarga. Ikatan moral pada keluarga semakin lemah, dan keluarga dianggap
sebagai lembaga teramat tradisional. Ketujuh, terjadinya frustasi eksistensial,
dengan ciri-cirinya : a). hasrat yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang
untuk berkuasa, bersenang-senang untuk mencari kenikmatan (the will to pleasure), yang biasanya tercermin dalam perilaku yang
berlebihan untuk mengumpulkan uang (the
will to money), untuk bekerja (the
will to work), dan mengejar kenikmatan seksual (the will to sex); b). kehampaan eksistensial berupa perasaan serba
hampa, hidupnya tidak bermakna, dan lain-lain; c). neuroses nogenik, perasaan
hidup tanpa arti, bosan, apatis, tak mempunyai tujuan, dan sebagainya. Keadaan
semacam ini semakin banyak melanda manusia, hari demi hari. Kedelapan,
terjadinya ketegangan-ketegangan informasi di kota dan di desa, kaya dan
miskin, konsumeris, kekurangan dan sebagainya[2].
Pendidikan Islam[3] memainkan peranan yang
sangat penting dalam mempersiapkan generasi menghadapi era yang penuh dengan
tantangan. Pendidikan Islam harus mampu menyelenggarakan proses pembekalan
pengetahuan, penanaman nilai, pembentukan sikap dan karakter, pengembangan
bakat, kemampuan dan keterampilan, menumbuh-kembangkan potensi aqal, jasmani
dan ruhani yang optimal, seimbang dan sesuai dengan tuntutan zaman[4].
Kenyataannya, pendidikan islam (khususnya di Indonesia)
telah berjalan dalam lorong krisis yang panjang. Pendidikan Islam telah
kehilangan pijakan filosofisnya yang hakiki, yang kemudian berdampak kepada
tidak jelasnya arah dan tujuan yang hendak dicapai. Pendidikan Islam juga
tertatih-tatih dan gagap dalam menghadapi laju perkembangan zaman dan arus
globalisasi. Akibatnya, output pendidikan Islam, yang semestinya melahirkan
generasi “imamul muttaqien” malah melahirkan generasi yang gagap: gagap
teknologi, gagap pergaulan global, gagap zaman dan bahkan gagap moral. Perlu
strategi yang tepat dalam membangun pendidikan islam yang sebenarnya.
PEMBAHASAN
A.
HAKIKAT
PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan merupakan sebuah proses pemberdayaan manusia
untuk membangun suatu peradaban yang bermuara pada wujudnya suatu tatanan
masyarakat yang sejahtera lahir dan bathin. Allah SWT sebagai Pencipta
memberdayakan Adam As (manusia pertama) dengan proses pendidikan Islam sendiri
memulai proses membangun kembali peradaban manusia yang telah porak poranda
(kala itu) dengan mengibarkan panji-panji wahyu pertamanya yang sarat akan
nilai-nilai pendidikan. Sistem dan metode yang amat menentukan kualitas hidup manusia
secara utuh (ruhiyah, jasadiyah dan aqliyah) dalam segala bidang adalah
pendidikan. Akibatnya dalam sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, amat
sulit ditemukan kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai
sarana pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Bahkan pendidikan juga
dijadikan sarana penerapan suatu pandangan hidup. Pepatah Arab bahkan
menegaskan: adabulmar’I khoirun min dzahabihi (pendidikan lebih berharga bagi
manusia ketimbang emasnya)[5].
Pendidikan memikul beban amanah yang sangat berat, yakni
memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran
dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba[i], yang siap
menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya yakni “khilafah fil ardl”. Oleh karena
itu pendidikan berarti merupakan suatu proses membina seluruh potensi manusia
sebagai: makhluq yang: beriman, berfikir, dan berkarya untuk kemaslahatan diri
dan lingkungannya. Membangun sekolah berkualitas berarti menyelenggarakan
proses pendidikan yang membentuk kepribadian peserta didik agar sesuai dengan
fitrahnya.
Memberdayakan potensi fitrah manusia haruslah berkesesuaian
dengan nilai-nilai yang mendasari fitrah itu sendiri, yakni nilai-nilai robbani
yang bersumber kepada Rob yang menciptakan manusia itu sendiri, sebagai zat
yang maha mengetahui akan segala sifat dan tabiat manusia. Dengan mengacu pada
nilai-nilai tersebut, maka dengan sendirinya proses pendidikan niscaya akan
memperhatikan azas-azas fisiologis, psikologis dan paedagogis yang melekat erat
sebagai sunnatulkaun pada pertumbuhan dan perkembangan manusia, juga
memperhatikan situasi dan kondisi zaman di mana peserta didik menjalankan
kehidupannya kelak.
Pendidikan aqal adalah salah satu aspek yang sangat
diperhatikan oleh Islam, selain aspek pendidikan jasmani dan ruhani. Islam
sangat memperhatikan penggunaan aqal dan pemikiran. Kemuliaan Adam As, manusia
pertama di muka bumi, terkait dengan kemampuannya dalam proses pemberdayaan
aqal[6]. Wahyu pertama yang
diturunkan Allah SWT kepada RasuluLlah SAW memerintahkan pemberdayaan aqal
lewat kegiatan membaca (QS: Al Alaq 1-5), kemudian dilanjutkan dengan surah
yang Allah SWT bersumpah atas nama “pena”, symbol pemberdayaan aqal melalui
kegiatan menulis (QS Al Qolam:1). Lebih jauh, materi ‘aqal dalam Al Qur’an
terulang sebanyak 49 kali, yang sebagiannya (sebanyak 13 kali) dalam bentuk
istifham inkari (pertanyaan negative) yang menunjukkan dorongan atau memberi
penakanan membangkitkan semangat, disebutkan untuk mencerca bagi mereka yang
tidak menggunakan aqal. Sedangkan term ulul albab terulang sebanyak 16 kali,
yang mengandung makna mereka yang menggunakan aqal untuk berfikir substanstif
(lubbu = inti, substansi)[7].
Membangun suatu institusi pendidikan berarti mengambil
peran dan tanggung jawab yang besar terhadap proses pembentukan kepribadian
anak, karena di lembaga pendidikan itulah anak akan mendapatkan sebagian besar
faktor-faktor penentu bentukan kepribadiannya, terutama dalam domain kognitif,
afektif dan konatif, yang sering pula diterjemahkan menjadi pengetahuan, sikap
dan perilaku. Kepribadian yang baik akan tumbuh pada anak manakala seluruh
faktor eksternal yang mempengaruhi proses pembentukannya dapat berinteraksi
dengan sistem fisiopsikologis peserta didik secara sehat, proporsional dan memunculkan
pengalaman belajar yang menyenangkan serta membangkitkan motivasi.
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan
yang jelas tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi
fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia
dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba (QS AsSyams:8, Adz Dzariyat: 56), yang
siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya sebagai khalifah di muka
bumi (QS 2:30/ 33: 72 ). Oleh karena itu pendidikan berarti merupakan suatu
proses membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan
bertaqwa, berfikir, dan berkarya, sehat, kuat dan berketerampilan tinggi untuk
kemaslahatan diri dan lingkungannya.
Hakikat Pendidikan Islam seharusnya mengajarkan, mengasuh,
melatih, mengarahkan, membina dan mengembangkan seluruh potensi peserta didik
dalam rangka menyiapkan mereka merealisasikan fungsi dan risalah kemanusiaannya
di hadapan Allah SWT: yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT dan
menjalankan misi kekhilafahnnya di muka bumi sebagai makhluk yang berupaya
memakmurkan kehidupan dalam tatanan hidup bersama dengan aman, damai dan
sejahtera. Oleh karena itu pendidikan seharusnya diarahkan kepada upaya
ma’rifah terhadap Allah SWT dalam upaya mengokohkan tali hubungan denganNya
sebagai Rob, Pencipta, Pemelihara dan Penguasa alam raya (misi ubudiyah), dan
kemampuannya meningkatkan kualitas hubungan dengan sesama makhluk di alam fana
ini guna bersama merealisasikan dan menigimplementasikan nilai-nilai ilahiyah
sehingga tercipta kedamaian dan kesejahteraan bagi sesama dan semua (misi
khilafah).
Hakikat Pendidikan Islam seharusnya melahirkan generasi
yang mengusai kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat diperlukan
bagi peningkatan kemaslahatan dan kesejahteraan ummat manusia, Tujuan
Pendidikan Islam juga harus mampu membentuk watak atau karakter yang akan
membekali putera-puteri generasi menjalankan misi dan fungsinya sebagai anak
manusia, anak bangsa dan hambaNya yang bertaqwa
Seharusnya, Pendidikan Islam melahirkan generasi yang mampu
menghadapi era global. Setidaknya, lima kemampuan yang mereka harus miliki,
yaitu: 1) Kemampuan belajar Mendidik dan melatih anak didik agar selalu terus
menerus terbiasa dan terampil belajar. Dengan kemampuan ini, arus informasi dan
perubahan yang selalu dan kerap terjadi di era global ini akan selalu dapat
diantisipasi. Patutlah dalam hal ini, Pendidikan Islam memperhatikan pernyataan
UNESCO bahwa dalam abad 21, belajar hendaknya berpijak pada 4 pilar, yaitu: a)
learning to think, b) learning to know, c) learning to do, d) learning to live
together. 2) Kemampuan melakukan penelitian: eksploratif, kritis, inovatif, dan
kreatif, 3) Kemampuan membangun jaringan kerjasama (networking), 4) Kemampuan
beradaptasi dengan keaneka-ragaman budaya, 5) Berpegang teguh pada nilai dan
prinsip.
B.
KRISIS
PENDIDIKAN ISLAM
a.
Krisis
Paradigmatik
Memudarnya kecemerlangan pendidikan Islam (the decline of
Islamic learning) sesungguhnya sudah terjadi sejak ratusan tahun yang silam.
Salah satu sebab utama layunya intelektualisme Islam adalah saat dunia
pendidikan Islam terjadi dikotomi keilmuan; terbelahnya ilmu agama (‘ilmu
diniyah) dengan ilmu dunia (‘ilmu dunya), dikotomi antara wahyu dan alam, serta
dikotomi antara wahyu dan aqal. Dikotomi yang pertama telah melanggengkan
supremasi ilmu-ilmu gama yang berjalan secara monotonik, dikotomi kedua telah
menyebabkan kemiskinan penelitian empiris dalam pendidikan Islam, serta
dikotomi yang terakhir telah menjauhkan filsafat dari pendidikan Islam[8].
Dunia pendidikan Islam terjebak pada simtom dikotomik yang
sangat parah: ’sekularisasi’ dan ’sakralisasi’ pendidikan. Sekularisasi
bermakna bahwa pendidikan telah melepaskan dirinya dari agama. Agama diartikan
sebagai sesuatu yang ’hanya’ berhubungan dengan maslalah ibadah ritual, ataupun
hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusan mu’amalah terbatas seperti nikah,
talak, rujuk, warisan, dan pengurusan jenazah (mayyit). Agama tidak ada
hubungannya dengan sains, teknologi, terlebih lagi kepada ilmu sosial, hukum,
politik, budaya. Sedangkan pada sekolah-sekolah agama (madrasah ataupun
pesantren), pendidikan terlalu asyik dengan kajian-kajian ’kitab kuning’
(ajaran Islam klasik yang membahas fiqh, hadis ataupun tafsir) tanpa peduli
dengan perkembangan zaman, kemajuan sains dan teknologi yang sesungguhnya
relevan untuk diketahui, difahami bahkan dikuasai. Alhasil, “Islam” hanya
diartikan sebatas “agama”, yang maknanya terbatas pada lingkup ritual (tanasuk)
ibadah, jenazah, nikah-talak-rujuk, warisan dan hal-hal yang berkait dengan
urusan ghaib/kehidupan akhirat. Islam hanyalah sebuah “agama”, bukan “adDin”
yang makna hakikinya melingkupi seluruh aturan hidup dan kehidupan (minhajul
hayah). Dengan cara pandang seperti itu, wajarlah kalau kemudian pendidikan
Islam pun terjebak ke dalam lingkup yang sempit dan “lepas” dalam segala urusan
memakmurkan dunia.
b.
Krisis
Visi dan Arah
Pendidikan Islam mengalami krisis visi dalam pengertian
bahwa kebanyakan lembaga pendidikan islam tidak mampu merumuskan/menetapkan
visi dan arah pendidikannya dengan apa yang secara hakiki menjadi tujuan
pendidikan yang diinginkan oleh Islam itu sendiri. Lembaga Pendidikan Islam
lebih banyak menjadikan “Islam” sebagai obyek bahasan, bukan menjadikan Islam
sebagai “way of life” (Minhajul hayah). Padahal, sudah pasti, lulusan mereka
akan menghadapi segala problematika kehidupan yang sarat dengan
tantangan-tantangan zaman, yang membutuhkan penyikapan yang jelas, terarah dan
efektif. Ketertinggalan ummat Islam dalam sains dan teknologi, kurang peduli
terhadap pemeliharaan lingkungan, ketidak-berdayaan dalam menghadapi aneka
virus, bakteri dan hama yang mendatangkan penyakit (baik kepada manusia, hewan
ataupun tanaman) yang kemudian menyebabkan terpinggirkannya eksistensi ummat di
panggung dunia merupakan contoh nyata dan jelas dalam hal ini.
c.
Krisis
Pengembangan
Pendidikan Islam (di Indonesia) jalan di tempat. Setelah
lewat masa puluhan tahun, lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak menunjukkan
kemajuan kinerjanya yang berarti. Sebagai contoh, gerakan pembaruan pendidikan
Islam yang dilakukan organisasi Muhammadiyah lebih banyak menekankan pada aspek
kuantitatif, belum menajam pada aspek pembangunan mutu (kualitatif)[9]. Dari berbagai tolok ukur
(fasilitas, manajemen, sdm, kurikulum), rata-rata pendidikan Islam belum duduk
dalam barisan “papan atas”. Pendidikan Islam mengalami kekurangan sumberdaya
manusia, sumberdaya pemikiran, sumber daya dana, sumber-sumber belajar.
Pendidikan Islam kurang didukung oleh riset dan pengembangan yang
berkelanjutan, baik yang dilakukan oleh individu masyarakat ataupun oleh
pemerintah. Hasilnya, model pengelolaan institusi dan pendekatan pembelajaran
tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Boleh jadi, krisis pengembangan ini diakibatkan pula oleh
lemahnya komitmen dan alokasi pendanaan bagi kemajuan pendidikan Islam[10]. Sedikit pihak penyandang
dana (baik dari APBN, dari masyarakat, ataupun dari) anggaran belanja Negara
d.
Krisis
Proses dan pendekatan pembelajaran
Pada sisi lain, pendidikan Islam telah kehilangan
substansinya sebagai sebuah lembaga yang mengajarkan bagaimana memberdayakan
aqal dan fikiran. Meminjam istilah Syed Husein Al Attas, pendidikan Islam telah
kehilangan ”Spirit of inquiry” yaitu hilangya semangat membaca dan meneliti
yang dulu menjadi supremasi utama dunia pendidikan Islam pada zaman klasik
pertengahan[11].
Dengan hilangnya semangat ’inquiry’, kegiatan mengajar dan belajar di
sekolah-sekolah/madrasah Islam/pesantren menjadi monoton, satu arah dan kurang
mampu mengembangkan metode yang melatih dan memberdayakan kemampuan belajar
murid. Mereka hanya terpaku pada metode ’menghafal” (rote learning), menyimak
dengan seksama (talaqqi), dan sangat kurang mengembangkan budaya diskusi,
seminar, bedah kasus, problem solving, eksperimen, observasi, dan sebagainya.
Murid menjadi kurang terampil dalam menghadapi berbagai persoalan dan
tantangan.
e.
Krisis
pengelolaan (manajemen)
Sudah menjadi pengetahuan publik, lembaga pendidikan Islam
seringkali di kelola tanpa dukungan manajemen yang handal. Kebanyakan lembaga
pendidikan malah berada dalam “kerajaan” para kiyai ataupun yayasan keluarga
yang dalam penyelenggaraanna seringkali mengabaikan prinsip-prinsip dasar
manajemen. Alih-alih menerapkan standar proses berbasis ISO, ataupun pendekatan
TQM yang berorientasi pada mutu, ataupun mencanangkan manajemen strategis yang
mengarahkan pada perencanaan jangka panjang (visioner), membuat rencana jangka
pendek pun seringkali diabaikan.
f.
Krisis
Komunikasi
Lembaga pendidikan Islam masing-masing berjalan sendiri.
Mereka hanya berkomunikasi dengan sesamanya, tetapi kurang mengembangkan jalinan
kerjasama kepada lembaga-lembaga pendidikan lainnya, apalagi ke lembaga
pendidikan di mancanegara. Kalaupun ada, komunikasi berjalan tidak dalam
kerangka membangun kerjasama peningkatan mutu. Dengan kondisi yang demikian,
lembaga-lembaga pendidikan Islam agak lamban dalam merespons perkembangan
kemajuan di dunia pendidikan.
C.
SOLUSI
STRATEGIS
Kenyataan yang tak dapat dipungkiri, pendidikan Islam di
negeri ini belum mampu menunjukkan jati dirinya. Masyarakat masih melihat dan
menilai pendidikan Islam dengan “sebelah mata”. Perlu dilakukan gerakan
pembaharuan pendidikan Islam melalui langkah-langkah strategis berikut:
1. Membangun Paradigma
Pendidikan Islam yang sebenarnya[12]
Melakukan kajian yang mendalam untuk membangun kembali
paradigma pendidikan Islam sesuai dengan semangat ’ruhul Islam’ yang
sebenarnya. Pendidikan Islam yang berpijak kepada Al Qur’an dan AsSunnah.
Pikiran-pikiran yang perlu ditegaskan antara lain:
a.
Paradigma ‘lmullah sebagai obyek bahasan
Pendidikan Islam harus berpijak kepada pandangan bahwa
Allah SWT menurunkan ‘ayat dan ‘ilmu Nya melalui dua jalur: jalur formal
melalui prosedur Allah – malaikat – Rasul; yang disebut sebagai ‘ayatul
qauliyah (Wahyu, AlQur’an), dan ayatul kauniyah (alam semesta). Ayat qauliyah
menjadi petunjuk dan pedoman (minhajul ayah), sedangkan ayatul kauniyah menjadi
fasilitas, sarana kehidupan (wasailul hayah). Lihat bagan berikut:
Dengan paradigma sebagaimana tergambar di atas, dalam
pendidikan Islam tidak akan mengalami disintegrasi ataupun dikotomik. Semua obyek
bahasan (dalam kurikulum) dipandang sebagai ‘ilmu Allah yang harus dipelajari
untuk mendapatkan bekalan Petunjuk Hidup (mempelajari ‘ayatul qauliyah) dan
mendapatkan bekalan untuk memperoleh fasilitas hidup (mempelajari ilmu
kauniyah). Bila paradigma tadi dilihat dalam konteks kurikulum, Ali Maksum
& Luluk Yunan Ruhendi (2005) menggambarkannya sebagai berikut[13]:
A
= Integrasi Sains Islami
B
= Spesialisasi Ilmu
Implikasi praksis dari paradigma ‘IlmuLlah adalah, bahwa
ummat Islam akan menyadari dengan sepenuhnya bahwa mereka harus mempelajari dan
menekuni seluruh ‘ilmu Allah dalam upaya meraih kejayaan dunia dan akhirat.
‘Ilmu-ilmu umum’ yang selama ini dianggap sebagai ‘pendidikan umum”, niscaya
akan berubah menjadi pendidikan (yang diperintahkan oleh) Islam juga.
b.
Paradigma holistik-integralistik
Proses pendidikan Islam harus berorientasi pada pembentukan
manusia seutuhnya. Oleh karena itu, materi pendidikan Islam mengandung kesatuan
pendidikan jasmani-ruhani, mengasah kecerdasan inetelektual, emosional dan
spiritual, kesatuan pendidikan teoritis dan praktis, kesatuan pendidikan
individu-sosial, dan kesatuan materi pendidikan keagamaan (diniyah), filsafat,
etika dan estetika (akhlak) . Evaluasi pendidikan islam juga dilakukan dalam
kerangka kesatuan pengetahuan, sikap dan perilaku.
2. Membangun Model Lembaga
Pendidikan Islam yang ideal
Perlu ada model sekolah/lembaga pendidikan Islam yang
dibangun dengan format yang ideal. Boleh jadi ada satu sekolah yang memiliki
satu atau dua keunggulan, sementara sekolah lain memiliki keunggulan pada aspek
lainnya. Sekolah-sekolah model inilah yang kemudian dapat dijadikan contoh yang
dapat ditiru oleh sekolah-sekolah Islam lainnya. Setidaknya kita berharap akan
menemukan lembaga pendidikan Islam yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
Mengusung nilai dan pesan Islam sebagai ruh dalam setiap kegiatan sekolah.
Seluruh dimensi kegiatan sekolah senantiasa bernafaskan semangat nilai dan
pesan-pesan Islam. Adab dan etika pergaulan seluruh waga sekolah dan
lingkungannya, tata tertib dan aturan, penataan lingkungan, pemfungsian mesjid,
aktivitas belajar mengajar, berbagai kegiatan sekolah baik reguler ataupun non
reguler semuanya mencerminkan realisasi dari ajaran Islam.
b.
Mengintegrasikan nilai kauniyah dan qauliyah dalam bangunan kurikulum. Seluruh
bidang ajar dalam bangunan kurikulum dikembangkan melalui perpaduan nilai-nilai
Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan asSunnah dengan nilai-nilai ilmu
pengetahuan umum yang diajarkan. Artinya, ketika guru hendak mengajarkan ilmu
pengetahuan umum semestinya ilmu pengetahuan tersebut sudah dikemas dengan
perspektif bagaimana AlQur’an/AsSunnah membahasnya. Dengan demikian tidak ada
lagi ambivalensi ataupun dikotomi ilmu.
c.
Menerapkan dan mengembangkan metode pembelajaran untuk mencapai optimalisasi
proses belajar mengajar. Pendekatan pembelajaran mengacu kepada prinsip-prinsip
belajar, azas-azas psikologi pendidikan serta perkembangan kemajuan teknologi
instruksional. Menggunakan kemampuan dan keterampilan berfikir yang kaya seperti:
berfikir kritis, kreatif, analitis, induktif, deduktif, problem solving melalui
berbagai macam pendekatan pembelajaran. Penggunaan sumber, media dan peraga
dalam kegiatan belajar merupakan bagian dari upaya memunculkan suasana belajar
yang stimulatif, motivatif dan fasilitatif. Pembelajaran harus lebih diarahkan
pada pada proses learning yang produktif, ketimbang proses teaching. Peserta
didik diarahkan dan difasililitasi untuk mampu mendaya-gunakan kemampuannya
sebagai pembelajar yang terampil dan produktif.
d.
Mengedepankan qudwah hasanah dalam membentuk karakter peserta didik. Seluruh
tenaga kependidikan (baik guru maupun karyawan sekolah) mesti menjadi figure
contoh bagi peserta didik. Keteladan akan sangat berpangaruh terhadap hasil
belajar. Dan kualitas hasil belajar sangat dipengaruhi kualitas keteladanan
yang ditunjukkan oleh tenaga kependidikan.
e.
Menumbuhkan biah solihah dalam iklim dan lingkungan sekolah: Lingkungan sekolah
harus marak dan ramai dengan segala kegiatan dan perilaku yang terpuji seperti:
terbiasa dengan menghidupkan ibadah dan sunnah, menebar salam, saling
hormat-menghormati dan menyayangi dan melindungi, bersih dan rapih. Di sisi
lain lingkungan sekolah juga harus terbebas dari segala perilaku yang tercela
seperti umpatan, makina, kata-kata yang kotor dan kasar, iri, hasad dan dengki,
konflik berkepanjangan, kotor dan berantakan, egois, ghibah.
f.
Melibatkan peranserta orangtua dan masyarakat dalam mendukung tercapainya
tujuan pendidikan. Ada kerjasama yang sistematis dan efektif antara guru dan
orangtua dalam mengembangkan dan memperkaya kegiatan pendidikan dalam berbagai
aneka program. Guru dan orangtua saling bahu-membahu dalam memajukan kualitas
sekolah. Orangtua harus ikut secara aktif memberikan dorongan dan bantuan baik
secara individual kepada putera-puterinya maupun kesertaan mereka terlibat di
dalam sekolah dalam serangkaian program yang sistematis. Keterlibatan orangtua
memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam meningkatkan performance
sekolah.
g.
Menjamin seluruh proses kegiatan sekolah untuk selalu berorientasi pada mutu.
Ada system manajemen mutu terpadu yang mampu menjamin kepastian kualitas
penyelenggaraan sekolah. Sistem dibangun berdasarkan standar mutu yang dikenal,
diterima dan diakui oleh masyarakat.
3. Memperkaya Kurikulum PAI
yang berwawasan: perjuangan, kebangsaan, global, iptek, demokratis, pluralis,.
Pelajaran Agama Islam bukan semata mempelajari
materi-materi Islam dalam konteksnya sebagai ’ulum syar’iyah (Fiqh, Ibadah,
Akhlaq, Aqidah) , melainkan diposisikan sebagai pelajaran agama yang memberikan
kerangka pengetahuan, sikap dan perilaku yang sangat relevan dan dibutuhkan
dalam konteks kehidupan masa kini. PAI berwawasan perjuangan berarti menegaskan
pentingnya semangat juang yang tinggi untuk membela kebenaran, keadilan,
kezhaliman, kemunkaran sebagaimana yang banyak dipesankan oleh AlQur’anul Karim[14]. PAI berwawasan
kebangsaan berarti, di dalamnya juga terkandung muatan nilai-nilai cinta dan
bela tanah air, selalu peduli akan kejayaan dan kemakmuran bangsa dan negara.
PAI berwawasan global berarti menjadikan Islam agama yang mampu memberikan
perspektif, arahan dan bekalan dalam kehidupan global yang sangat syarat dengan
kemajuan sains dan teknologi yang berimplikasi luas bagi kehidupan antar
manusia (mu’amalah). PAI berwawasan iptek berarti memberi kerangka yang tepat
bagi pengembangan dan penggunaan iptek untuk kemaslahatan kehidupan (wasailul
hayah), yang implikasinya adalah PAI yang seimbang antara aspek fikr dan dzikr;
memicu dan memacu peserta didik, untuk berfikir keras dan mendalam tentang alam[15]. PAI berwawasan
demokratis menekankan kepada inti dari demokrasi itu sendiri yaitu: penghargaan
dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang sungguh sangat dijamin
dalam ajaran Islam. PAI berwawasan pluralis berarti menjelaskan bahwa Islam
menerima (toleran) terhadap berbagai keragaman etnis, budaya, bangsa dan agama
sebagai suatu realita kehidupan, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip aqidah yang
sudah jelas, tegas dan final (qoth’i)[16].
4. Membangun Jaringan Lokal
dan Global dgn sesama lembaga pendidikan Islam
Percepatan kemajuan lembaga pendidikan Islam sangat
ditentukan oleh kemampuan mereka dalam membangun kerjasama. Diperlukan
networking
yang
efektif yang dapat memainkan peranan dalam:
* Meningkatkan mutu dan intensitas
komunikasi virtual sehingga terjadi sharing (berbagi): masalah, penglaman,
infromasi, sumber (resources), kerjasama melalui media milis, website, sms.
* Menggalakkan kerjasama peningkatan mutu penyelenggaraan antar jaringan sekolah pada regional/wilayah terjangkau sehingga terjadi percepatan pertumbuhan dan perkembangan mutu sekolah. Contoh: – kelompok kerja profesional (kepala sekolah, guru bidang studi, walikelas, kepalatatausaha)
* Menggalakkan kompetisi yang sehat (fastabiqul khoyrot) untuk memacu dan memicu motivasi berkarya, mengembangkan inovasi dan prestasi melalui serangkaian lomba: olimpiadematapelajaran,
* Menggalakkan kompetisi yang sehat (fastabiqul khoyrot) untuk memacu dan memicu motivasi berkarya, mengembangkan inovasi dan prestasi melalui serangkaian lomba: olimpiade mata pelajaran, karya kreasi guru, sekolah asri, dsb.
* Menyelenggarakan kegiatan siswa bersama: jambore, ekshibisi, study tour, pertukaran siswa
* Menggalakkan kerjasama peningkatan mutu penyelenggaraan antar jaringan sekolah pada regional/wilayah terjangkau sehingga terjadi percepatan pertumbuhan dan perkembangan mutu sekolah. Contoh: – kelompok kerja profesional (kepala sekolah, guru bidang studi, walikelas, kepalatatausaha)
* Menggalakkan kompetisi yang sehat (fastabiqul khoyrot) untuk memacu dan memicu motivasi berkarya, mengembangkan inovasi dan prestasi melalui serangkaian lomba: olimpiadematapelajaran,
* Menggalakkan kompetisi yang sehat (fastabiqul khoyrot) untuk memacu dan memicu motivasi berkarya, mengembangkan inovasi dan prestasi melalui serangkaian lomba: olimpiade mata pelajaran, karya kreasi guru, sekolah asri, dsb.
* Menyelenggarakan kegiatan siswa bersama: jambore, ekshibisi, study tour, pertukaran siswa
5. Menjalin kemitraan
dengan industri, institusi dan pusat-pusat iptek, budaya dan ekonomi
Mendekatkan dunia pendidikan Islam dengan dunia nyata dan
kongkrit merupakan salah satu upaya yang sangat berarti. Dengan jalinan
kerjasama dan kemitraan yang efektif kepada industri, institusi atau lembaga-lembaga
iptek, budaya ataupun lembaga ekonomi, bahkan instansi militer akan memperkaya
dan memperluas sumber belajar. Jalinan kemitraan ini akan menutupi banyak
kelemahan dan kekurangan sumber daya yang dimiliki lembaga pendidikan Islam.
Pendidikan sains akan sangat efektif ketika peserta didik mendapatkan
pengalaman nyata dan langsung di pusat-pusat penelitian dan pengembangan
seperti LIPI, BPPT, Puspiptek Serpong. Wawasan HAM, Demokrasi ataupun Politik
dapat dipelajari langsung di lembaga-lembaga Negara, partai politik, LSM dan
sebagainya. Demikian pula pada upaya peningkatan mutu pembelajaran social,
ekonomi, budaya, hukum bahkan agama dapat diperkaya dengan pendekatan
“experience learning” ke sentra-sentra kegiatan nyata di tengah-tengah
masyarakat.
6. Membuat pusat
pengembangan guru
Guru adalah tulang punggung pendidikan. Oleh karenanya,
mutu guru harus mendapatkan kepastian dan jaminan akan kompetensi
profesionalnya. Membangun pusat-pusat pelatihan dan pengembangan mutu guru
sangat membantu menyediakan tenaga-tenaga kependidikan yang handal. Selain itu,
dengan adanya pusat-pusat pengembangan mutu guru akan memfasilitasi terjadinya
tukar pengalaman dan salimng share berbagai ide dan gagasan.
7. Benchmarking dengan
world class school
Menjadikan sekolah kelas dunia (world class school) sebagai
patokan adalah upaya untuk mengangkat lembaga pendidikan Islam agar selalu
“gaul” dan mengikuti perkembangan mutu sekolah berskala international. Dengan
tetap menajga jati diri agama dan bangsa, pada beberapa karakteristik yang
sifatnya universal, lembaga pendidikan Islam patut merujuk kepada
criteria/karaktersitik sekolah-sekolah unggul di berbagai belahan dunia.
Kriteria sekolah efektif menurut hasil analisis yang dilakukan oleh the
Connecticut School Effectiveness Project, sebagai berikut:[17]
1.
Lingkungan yang asri, nyaman dan aman yang memunculkan suasana kondusif bagi
kegiatan belajar mengajar
2.
Misi sekolah yang jelas dengan komitmen kepada tujuan instruksional, prioritas,
prosedur assessment dan akuntabilitas.
3.
Kepemimpinan instruksional di bawah arahan kepala sekolah yang memahami dan
menerapkan berdasarkan karakteristik efektifitas instruksional.
4.
Adanya Iklim dimana seluruh staf guru mengharapkan dengan sangat (“high
expectation”) akan tuntasnya pencapaian basic skill oleh para murid.
5.
Motivasi mengajar yang tinggi yang dibarengi dengan adanya harapan yang tinggi
dari seluruh staf pengajar akan terbentuknya basic skill di kalangan seluruh
murid.
6.
Tenaga kependidikan yang “high time on task”: selalu berorientasi kepada
penyelesaian tugas, terampil dalam mengelola waktu secara efektif
7.
Supervisi yang efektif kepada seluruh pengajar: upaya memberikan bimbingan,
feedback (umpan balik) serta dukungan kepada staf pengajar
8.
Pemantauan yang berkelanjutan terhadap kemajuan prestasi murid, menggunakan
hasil belajar murid untuk program pengembangan individual maupun perbaikan
program instruksional, serta melakukan proses penilaian yang sistematis.
9.
Hubungan sekolah dan rumah yang positif dimana orangtua memberikan dukungan
yang bermakna dan memainkan peranan penting dalam upaya pencapaian misi utama
sekolah.
Sementara
itu, dalam suatu penelitian lain, diperoleh gambaran bahwa sekolah-sekolah yang
ada di berbagai Negara maju: Taiwan, Jepang, Jerman, Korea, New Zealand, Israel
dan lain-lain yang kemudian disebut sebagai sekolah kelas dunia (world class
school), memiliki standard hal-hal berikut[18]:
1.
Memiliki kurikulum dan standard penilaian (test) nasional. Mereka memiliki
kurikulum dan tes standar nasional, selain untuk kepentingan mobilitas siswa
juga untuk menjadi ukuran kemajuan nasional.
2.
Jumlah hari efektif sekolah 201 hari. Jumlah hari efektif mereka belajar dan
bekerja di sekolah selama setahun yang dimanfaatkan secara optimal.
3.
Jumlah jam belajar di rumah/mengerjakan PR = 2.4 jam/hari
4.
Pemerintah memfasilitasi rencana strategis dan kerangka manajemen
5.
Guru mendapatkan respek dan penghargaan yang tinggi. Di Jepang, tinggal dan
bertetangga dengan seorang guru merupakan kebanggaan dan menaikkan status
symbol mereka, di Taiwan guru tidak membayar pajak penghasilan dan Hari
Konfusius di rayakan sebagai ”Hari Guru”.
6.
Kuatnya dorongan dan etka belajar keras meraih prestasi kepada seluruh murid;
Masyarakat dan orangtua memberikan respek yang tinggi kepada guru dan siswa
yang menunjukkan kinerja baik dalam proses mengajar dan belajar. Mereka sangat
menghargai prestasi, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang terpuji dan luhur.
PENUTUP
Kebangkitan
dan kejayaan suatu kaum tidak akan pernah sukses kalau sendi dan pilar
pendidikannya rapuh. Menjayakan sekolah merupakan suatu keniscayaan
(compulsary) yang tidak terbantahkan baik ditinjau dari aspek logis, idealis,
filosofis ataupun historis. Sekolah Islam seharusnya memainkan peranan yang
penting dalam memajukan mutu pendidikan, baik untuk dirinya maupun dalam
konteks pendidikan nasional. Kebangkitan sekolah Islam bersendikan kepada
pengembangan model sekolah yang mengacu kepada azas-azas pendidikan sebagaimana
diisyaratkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, dan diinspirasi oleh temuan-temuan
riset pendidikan dan pengalaman sekolah-sekolah modern kelas dunia.
Setidaknya,
di kalangan masyarakat, upaya peningkatan mutu sekolah Islam mulai
bergerak[21]. Beberapa pihak mulai menyadari pentingnya membangun
sekolah/lembaga Islam yang berwawasan visioner dan global. Demikian pula
komunikasi jaringan antar sekolah-sekolah Islam mulai marak di 5 tahun
terakhir. Upaya-upaya yang ada, meskipun belum membuahkan hasil yang optimal,
paling tidak ada kesadaran kolektif akan pentingnya membangun pendidikan Islam
yang bermutu, guna menyiapkan generasi yang beriman, bertaqwa, cerdas dan
terampil. Perlu mendapat dukungan semua fihak, WaLlahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
pendidikan-umat.blogspot.com/…/strategi-pendidikan-islam-dalam.ht…(http://blog.umy.ac.id/arumcreat/2012/11/20/strategi-pendidikan-islam-dalam-menghadapi-globalisasi/)
[1]
Lihat Ali Maksum dan Yunan Ruhendi dalam “Paradigma
Pendidikan Universal di Era Modern dan Postmodern” Yogya: Ircisod. Halaman 281
[2]
Ibid, halaman 282-283
[3]
Yang dimaksud Pendidikan Islam dalam tulisan ini
dibatasi dalam pengertian tempat atau lembaga yang melaksanakan proses
pendidikan Islam dengan mendasarkan pada programnya atas pandangan serta
nilai-nilai Islam. Assegaf yang menyebutkan bahwa istilah “pendidikan islam”
setidaknya mengandung 3 dimensi: dimensi kegiatan, dimensi kelembagaan dan
dimensi pemikiran. Lebih jauh lihat , Abdurrahchman Assegaf , ” Politik
Pendidikan Nasional”, Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005. hal 105.
[4]
Imam Sayyidina Ali RA mengisyaratkan betapa
pentingnya menyelenggarakan pendidikan yang diarahkan bagi upaya mempersiapkan
anak didik menghadapi tantangan dalam zaman mereka: “didiklah anak-anakmu
dengan didikan yang berbeda dengan didikan kalian, karena mereka akan hidup di
generasi yang berbeda dengan generasi kalian”
[5]
Abraha, Kamsul. “Urgensi Jaringan Lembaga Pendidikan
Islam Indonesia Dalam rangka Pemberdayaan dan Peningkatan Peran Lembaga
Pendidikan Islam”, makalah: hal. 1
[6]
Al Qur’an surah Al Baqoroh: 31-34
[7]
DR Yusuf Qardhawi, “Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan”,
hal. 30.
[8]
Lihat lebih jelas di buku: “Menggagas Format
Pendidikan Nondikotomik”, Abdurrahman Mas’ud. 2003. Yogyakarta: Gama Media,
halaman 8-9.
[9]
Lihat dalam Internet:
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/35/organisasi_sosial_keagamaan_dan_keberadaan.htm
[10]
Krisis pendanaan pendidikan
diperparah pula oleh sikap sebagian besar masyarakat yang kurang begitu tanggap
terhadap dukungan pendanaan pengembangan pendidikan. Mereka lebih tertarik
memberikan sumbangan (donasi) untuk kemiskinan, bencana alam ataupun
pembangunan mesjid. Jarang dari mereka menyumbang untuk kegiatan pengembangan
pendidikan.
[11]
Uraian lebih jauh dan filosofis dapat dilihat dalam
buku: Menggagas Format Pendidikan Non-Dikotomik”, tulisan Abdurrahman Mas’ud
yang diterbitkan oleh Gama Media, Yogyakarta.
[12]
Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi membahas masalah
ini lebih luas dan detail, lihat dalam buku mereka “Paradigma Pendidikan
Universal di Era Modern dan Post Modern” , Yogyakarta: Ircisod, 2004. hal
181-190
[13]
Opcit, halaman 287
[14]
Jihad fi sabilillah, Amar Ma’ruf Nahiy Munkar
(memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemunkaran) merupakan doktrin-doktrin Al
Qur’an dan menjadi prasyarat bagi terbentuknya “khairu ummah’, lihat QS: Ali
Imran: 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik”
[15]
QS: Ali Imran 190-191
[16]
Dalam hal
pluralisme agama., perlu dibedakan antara sikap menerima dalam kerangka
hubungan antar manusia (mu’amalah) dengan sikap aqidah. Dalam bermu’amalah
Islam mewajibkan ummatnya untuk menghargai, menghormati, bahkan membela hak-hak
siapapun yang tertindas. Namun dalam pandangan aqidah, Islam secara tegas dan
jelas memandang bahwa hanya agama Islamlah yang Benar (QS: …)
[17]
QS: Ali Imran
190-19
[18]
Hasil analisis The
Connecticut School Effectiveness Project (lihat di Lunenberg and Ornstein,
1991. “Educational Administration, Concept and Practices”. Belmont, California:
Wadsworth Publishing Co.)